Sabtu, 18 Februari 2012

The Teenagers (part1)



            Kulihat jam tangan terus menerus. Hari sudah menunjukkan senjanya. Kini hampir pukul 18.00. Aku masih saja bingung dan gelisah menanti angkutan umum yang tak kunjung datang. Di sela-sela kegelisahanku, aku mengingat kejadian tadi siang. Mengingat kenakalanku meluangkan waktu yang sia-sia dengan bermain sepuasnya, hingga aku benar-benar lupa waktu. Dan sudah pasti, nanti Bunda dan Ayah sudah siap memarahiku.

Ah Ya Allah, kemana sih bis sama angkot. Biasanya ga separah ini deh. Ya Allah, datangkanlah kendaraan apapun yang bisa kunaiki agar dapat sampai kerumah. Amiinn.

            Tak lama, rupanya doaku terkabul. Aku sempat tak percaya akan secepat ini.
“Eh itu siapa? Kayak kenal. Mm, Kevin Aprilio? Eits, kebagusan. Mm, eh…” aku terpelongo sesaat, ketika seseorang yang aku kenali berhenti tepat didepanku.
“Buruan pulang. Yuk, aku anterin!” kata seorang cowo tadi yang ternyata itu pacar aku sendiri, Renal.

Aku masih saja diam. Menimbang-nimbang antara ikut atau nunggu lama lagi dan itu entarnya pasti dimarahin abis. Dan sebenernya sih, biasanya juga dianterin Renal aja. Cuma karena lagi marahan, agak gengsi juga minta anternya. Memang, jaman sekarang tuh udah gaperlu gengsi-gengsian, apalagi sama cowo sendiri. Tapikan, tetep aja namanya cewe tuh mesti tuh ngediemin cowo yang super nyebelin kayak Renal.
Saat proses memikirkan secara keuntungan dan kerugian yang akan terjadi. Renal bertanya padaku lagi.
“Heh, aneh! Buruan mau pulang ga, sih? Entar dimarahin loh!” kata Renal yang kini  turun dari motornya lalu mendekatiku, melepaskan bajunya *eh, melepaskan helmnya dan ternyata dia memakaikan helmnya padaku! Aku diam saja, tanpa bujuk rayuan lagi, aku sudah duduk di belakang Renal.
Beberapa menit kemudian, setelah sadar sudah sampai rumah, aku segera turun dan berterima kasih dengan seadanya. Antara kesal karena sadar tadi dibilang “ANEH” lagi, plus malu udah ngelanggar niat aku untuk ngediemin Renal. Kulirik sebentar kearah Renal yang menandakan “Ayo sana pulang!”  dan dalam sekejap diapun telah menghilang.

Maaf ya Renay, hehe entar deh aku sms kamu.

“3 langkah lagi dan buka pintunya. Aaah, ampun deg-degan. Pasti dimarahin, pastilah! Gabakal engga.” Batinku Kubuka perlahan daun pintu, sembari berucap.
Bismillahi, audzubillahiminasyaitonirrozim. Allahu akbar!!
Bagiku menghadapi Bunda dan Ayah yang tentu dikala murka, seseram bila melihat hantu. Inget ya ‘bila’ belom mau aku kalo liat beneran. Hwiii.
            
            Suara tv semakin jelas kudengar. Sambil menenteng sepatu kulewati Bunda dan Ayah yang sedang asyik menonton tv. Aku mengambil jalan kearah belakang kursi, alias belakang mereka tentunya. Saat melewati mereka, tiba-tiba sepatuku yang tak bisa diajak kompromi, jatuh. Deg!, ah pasti ini pasti aaa..

            Jantungku semakin berdebar ketika Ayah melirik kebelakang –ke arahku-. Dengan polosnya aku tersenyum sambil berkata dengan watadosnya “Ma-maalam, Ayah”. Namun senyumanku disambut tatapan dingin oleh Ayah. Sekarang Bunda yang sedang melihat kearahku. Kuulangi lagi kewatadosan ku dengan berkata “Malaam juga, Bu-Bundaa”. Kulihat diraut mukanya ada kekhawatiran yang dalam. Aku tau Bunda adalah tipe orang khawatiran. Ke toko sebelah aja harus telfon. Rewel, bawel, lebay itulah Bunda. Nyebelin sih, tapi ya kadang kalo gadiomelin tuh kangeeen banget sama suara Bunda yang nyaring tuh.
Kembali lagi ke situasi tadi yang agak ‘menegangkan’. Kuraih sepatuku yang terjatuh. Ayah pun bertanya,

“Habis dari mana kamu, Rizka?!” kata Ayah dengan tatapan dinginnya.
“Dari temen, Yah” aku hanya menjawab seadanya. Karena bête, aku langsung saja ke kamar tanpa mendengarkan apa yang Ayah atau Bunda katakan lagi. Walopun takut juga tapi aku sudah bosan, pasti mereka bilang “Maen teruss, nilai turun. Mau jadi apa kamu?” atau “Kamu ga kasian sama Bunda? Kamukan tau sifat Bunda gimana! Janji saja tidak akan mengulangi. Tapi apa?” bisa juga begini nih, “Tiap ada acara keluarga selalu mengelak, giliran sama temen aja iya iya saja”. Aaah, sudah banyak yang Bunda dan Ayah ceramahi padaku.
Kubenamkan mukaku pada bantal. Kesal.

Kayak hewan banget sih, dikekang terus. Kalo ga nekat, bisa stress gara-gara nongkrong di kamar mulu. Aku lelah, aku pengen bebas. Pengen seperti fayra, dan tika. Kedua sahabatku itu bebas kemanapun mereka pergi.  Andai aku cowo, pasti dikasih kepercayaan yang lebih. Ah, andai tuhan.
Karena merasa sesak, aku bangkit dan sejenak menghirup oksigen yang bertebaran di udara kamar. Hmm, masih sesak, sumpek! Dan, bau. Aku tersadar, belum mandi rupanya. Ah, aku juga belum menghubungi Renal. Akhirnya aku segera beranjak dari kasur lalu mengambil handuk.

30 menit kemudian,
Setelah selesai mandi, aku segera menghubungi Renal. Kukirim pesan singkat –mungkin teramat singkat-,
To: MyRenaay
Ass.

Taklama Renal membalas,

From: MyRenaay
Waalaikumsalam, cinta . licik ih, aku ngedoain kamunya lengkap tuh.

Aku tersenyum, ah dia paling bisa membuatku tersenyum sendiri seperti ini.

Please, don’t say goodbye. I need you to be my only one..

Tiba tiba ponselku berbunyi, ah Renal nelfon rupanya. Segera kuangkat telfonnya.

“Assalamualaikum, Mydear,” kata orang diseberang sana.
“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh!” jawabku jelas sembari terkekeh.
“Hihi, lagi apa my Izka?” tawanya terdengar renyah. Aah, jadi laper.
“Kasih tau jangan yaa?” godaku. Uh, laper T---T
“Yiihh, udah makan belom?”  aha! Dia nanya pas banget sama sikon aku.
“Udah” kataku singkat. udah sih, tapi kalo dia lupa kebiasaan aku. Awas aja!
“Oh, mm..”
Tuuutt..tuutt..tutt
“Eh dasar. Apaan tiba-tiba dimatiin gini!” kataku sambil membantingkan ponsel tadi pada bantal.
Seperti biasa nyebelinnya keluar! menjadi-jadi. Niatnya malem ini baikan. Taunya! Tak terasa karena kesal aku sudah terbawa kealam khayal dengan membawa rasa kesal ini dalam mimpi.

[Thanks for reading, next part 2,  in here ]

Tidak ada komentar: