Senin, 17 September 2012

Bayangku


 (karya asli: Syifa Syafira Alghifari)

Matahari perlahan semakin merangkak naik keatas langit. Yang awal mula hanya mengintip, sebentar lagi ia akan menyembulkan badannya secara utuh ke bumi. Mataku masih saja enggan untuk berpaling. Jarak kami mungkin hanya 2 meter. Apalagi aku sudah berdiri diatas panggung paduan suara, walau dengan agak berdesakan. Tampaklah jelas wajah seseorang yang kukagumi sejak 6 bulan lalu itu. Hidung bangir dan pipi tirus bertahi lalat didekat matanya, itu yang aku gambarkan darinya.
Kini kulihat matanya membulat. Lensa matanya tampak besar dan berbinar-binar. Kucoba ikuti arah matanya tertuju. Tak terasa, otot pipiku tertarik. Seperti biasa, dia melihat burung-burung kecil dengan tatapan kagum. Senyumnya mengembang sempurna. Dengan jilbab yang ia kenakan, ia terlihat indah.

Namanya, Anis Zarifah. Sesuai arti namanya, ia memang sangat cantik. Kuterka, ia seumuran denganku. Perempuan ini selalu terlihat ceria didepan teman-temannya. Dan, mereka semua senang dengan sikap ia yang ramah dan selalu tersenyum. Tapi, aku justru tau, apa yang ada dibalik senyumnya itu.
Jam demi jam terlewati, dan kini sudah saatnya untuk Anis pulang. Aku langsung mengekor dibelakangnya. Memang, kadang ia pulang dengan bis, diantarkan temannya atau jalan kaki. Tapi, itu tak masalah bagiku.
Kini, kami telah sampai. Kulihat ia disini, dibalik celah ranting yang agak tertutupi rimbun dedaunan. Dari sini aku bisa  melihat, menembus  jendela ruang keluarga rumah Anis. Setelah Anis berganti pakaian ia kembali lagi ke ruang keluarga.
“Jadi, Abi sudah menyiapkan calon untukku?” tanya dia pada laki-laki bertubuh besar dan berjenggot. Laki-laki itu Ayahnya, atau sering aku dengar ia memanggilnya dengan Abi.
“Iya, Anis. Abi tidak akan langsung menikahkanmu setelah lulus nanti. Tapi, Abi akan tetap mengkuliahkanmu, apa itu menyenangkan dan tak memberatkanmu, bukan?”
Perempuan itu terdiam sejenak. Raut wajahnya kini sulit kutebak.
“ Ya Abi, terimakasih.” Lalu, perempuan itupun pamit pergi menuju kamarnya. Akupun segera menyusulnya. Namun, aku hanya bisa melihatnya diluar, lewat jendela kamar Anis.
Anis duduk ditepi kasurnya. Lalu, tiba-tiba ia menitikkan buliran air mata dari pelupuknya. Ah, betapa sakitnya hatiku saat melihatnya menangis. Pipinya kini basah karena terlewati oleh deras air matanya yang mulai menganak sungai. Aku tak tau mengapa ia tiba-tiba menangis? Yang jelas, saat melihatnya begitu, entah mengapa hatikupun ikut hancur. Ingin sekali rasanya, sekarang aku bisa memeluknya. Membiarkan ia bersender dan  menangis dengan tenang di dadaku.
Kini, ia menengok ke arahku. Dan, ah! Aku lupa. Hampir  saja, ia akan terkejut. Bahaya saja kalau Anis tau ada makhluk sepertiku. Tapi, apa iya dia akan melihatku?
Dia menyeka air matanya dengan lengan kanannya. Namun, hal itu sia-sia karena air matanya terus saja mengalir. Berulang kali ia seka, dan akhirnya pipinya kini berwarna kemerahan karena terlalu sering ditekan. Ia lalu menggapai sesuatu di sudut meja belajarnya. Ada kotak berwarna coklat dengan gambar beruang diluarnya. Pelan-pelan dia membuka kotak, lalu meraih sehelai kertas. Tapi, kurasa itu bukan. Belakangnya agak kumal. Aku menggeser posisiku agak kesamping kanan. Foto! Ah, samar sekali foto itu. Sebelum aku bisa melihat foto itu dengan jelas. Anis segera memasukkannya kembali ke kotak berwarna coklat itu. Lalu ia segera berbaring diatas kasur sembari terisak pelan.
4 tahun kemudian..
“Andai, Umi kamu masih ada Nis. Pasti dia seneng liat kamu mau nikah gini.”
Kulihat Anis hanya tersenyum tipis. Kurasa, ia tidak senang dengan perjodohan ini.
4 tahun sudah aku selalu bersamanya. Menemani ia disetiap deru napasnya dalam menjalani kuliah dan kehidupan. Kini, Anis telah mendapakan gelar Sarjana Agama. Dan  kini, ia telah siap dipinang oleh seorang pria mapan berumur 28 tahun, asal Jawa. Namanya, Reza. ,
Saat aku selalu berada didekatnya. Aku tau, aku takkan pernah bisa ia lihat. Tapi, yang selama ini aku anehkan. Mengapa aku begitu terkait dengannya. Seolah-olah dia, bagian dariku. Dan mengapa Tuhan membiarkanku untuk datang ke dalam kehidupan Anis. Untuk apa aku kesini dan untuk apa aku seolah-olah menjaganya?
Acara sudah siap dimulai. Rombongan pengantin pria, Reza, sudah datang ke pelataran rumah Anis. Aku melihat Anis kembali. Namun, kini ia tengah melihat foto itu lagi. Foto yang kumal yang selama ini belum juga untukku bisa melihatnya dengan jelas. Aku penasaran sekali. Sebenarnya siapa foto itu? Lalu akupun menghampiri Anis perlahan. Aku tercekat dan bulu kudukku berdiri. Jadi, selama ini itu foto? Foto ku!
Aku mencoba meraih pundaknya. Dan, kini tubuhnya bergetar. Ia perlahan mulai terisak. Aku, aku mulai mengingat semua ini, Nis.
Saat itu, aku membawa motor dengan laju yang cukup kencang. Bukan apa-apa, ini karena aku takut Anis terlalu lama menunggu. Karena memang, aku menjanjikan bertemu dengan Anis 30 menit yang lalu.
Saat itu hujan turun dengan deras dan memang kondisi jalanan pun agak licin. Aku yang khawatir dengan keadaan Anis, justru melajukan motor dengan kecepatan 70km/jam. Dan, tepat dibelokkan itu, aku tergelincir. Terjatuh dan aku tergolek kearah berlawanan. Dan diarah lain melaju juga sebuah bus. Tak ayal lagi. Nyawaku ditarik pergi dari jasadku. Ditengah derasnya hujan, semua orang mengitariku. Aku, keluar dari kerumunan itu dan mulai berlari menuju tempat Anis.
Ah, rupanya ia masih disana. Aku mendekat kearahnya. Kulihat ia, sepertinya tubuhnya menggigil. Aku mencoba menyentuh bahunya. Tapi, tak bisa! Kenapa ini?
‘Anis!’ kataku berteriak. Namun, anehnya aku tak dapat mengeluarkan suara apapun.
Hah, suaraku kemana?
Dan  tiba-tiba aku ditarik pergi lagi. Menuju langit teratas. Jauh sekali, tapi, entah mengapa aku tak tau kapan pastinya. Aku diturunkan kembali, tanpa mengetahui apa yang telah terjadi padaku. Aku terjatuh dan langsung bertemu Anis. Sosok yang langsung kukagumi.
Kini, aku terdiam sambil memejamkan kedua mata. Tiba-tiba kurasa aku berada disebuah lorong waktu. Aku hanya diam dan bisa menyaksikan semua itu terulang. Aku bersama Anis. Dia yang memang kucintai tak hanya dihidupku, ternyata dalam matikupun aku masih terikat dengannya.
‘Gimana ya, kalo kita ampe nikah?’ katanya berucap asal.
‘Ya bagus dong. Kamu ga mau?’ tawarku.
‘Mau gak ya?’ candanya, ‘Asal kamu dapet kerja terus kuliah.’
‘Ga kebalik tuh?’ kataku diiringi tawa.
‘Eh, iya. Kuliah dulu terus kerja.’ Ralatnya dengan mimik serius.
‘Iya dong, biar nanti aku bisa dapet restu milikin kamu selamanyaa,’ seruku riang.
Pelan-pelan dia tersenyum manis sambil sesekali menahan tawanya. Ah, hatiku kini terasa melayang melihatnya tersenyum begini padaku.
“Anis.. Bagaimana ini? Jangan begini, kumohon,” pintaku dalam hati.
Sekarang, Anis terdiam membisu. Ia melihat kearahku. Aku terdiam, karena aku rasa ia tak akan dapat melihatku. Namun, aku salah.
“Galuh..” lirihnya berucap.
Aku tercengang. Namun, ia tak melanjutkan lagi kalimatnya karena Abinya masuk dan menyuruhnya untuk keluar. Jantungku berdegup tak menentu. Jadi selama ini, apa dia merasakan kehadiranku?
Saat ini, kulihat ia tengah duduk dengan cantik disamping seorang pria. Anis tersenyum tipis tapi aku tau ia mencoba untuk bahagia. Kuharap saja, Reza seorang pria yang bertanggung jawab dan dapat menjaganya dengan baik kelak.
Tiba-tiba aku ditarik kembali, ah aku tak tau mengapa ini begitu sakit. Aku kembali ditarik keatas langit. Jauh, dan semakin menjauh dari mereka. Semoga kamu bahagia, Anis. 

Aku memang dia.
Dia yang mencintaimu dan menjagamu.
Namun, terlalu singkat untuk bersamamu.
Dia pergi atau aku pergi
Itu sama dan tak ada bedanya
Bukan maunya atau mauku
Meninggalkan kamu yang mencintai dia yaitu, Aku.

Tidak ada komentar: