(karya asli: Syifa Syafira Alghifari)
Matahari perlahan semakin merangkak naik keatas
langit. Yang awal mula hanya mengintip, sebentar lagi ia akan menyembulkan
badannya secara utuh ke bumi. Mataku masih saja enggan untuk berpaling. Jarak
kami mungkin hanya 2 meter. Apalagi aku sudah berdiri diatas panggung paduan
suara, walau dengan agak berdesakan. Tampaklah jelas wajah seseorang yang
kukagumi sejak 6 bulan lalu itu. Hidung bangir dan pipi tirus bertahi lalat
didekat matanya, itu yang aku gambarkan darinya.
Kini kulihat matanya membulat. Lensa matanya tampak
besar dan berbinar-binar. Kucoba ikuti arah matanya tertuju. Tak terasa, otot
pipiku tertarik. Seperti biasa, dia melihat burung-burung kecil dengan tatapan kagum.
Senyumnya mengembang sempurna. Dengan jilbab yang ia kenakan, ia terlihat
indah.
Namanya, Anis Zarifah. Sesuai arti namanya, ia memang
sangat cantik. Kuterka, ia seumuran denganku. Perempuan ini selalu terlihat
ceria didepan teman-temannya. Dan, mereka semua senang dengan sikap ia yang
ramah dan selalu tersenyum. Tapi, aku justru tau, apa yang ada dibalik
senyumnya itu.
Jam demi jam terlewati, dan kini sudah saatnya untuk
Anis pulang. Aku langsung mengekor dibelakangnya. Memang, kadang ia pulang
dengan bis, diantarkan temannya atau jalan kaki. Tapi, itu tak masalah bagiku.
Kini, kami telah sampai. Kulihat ia disini, dibalik
celah ranting yang agak tertutupi rimbun dedaunan. Dari sini aku bisa melihat, menembus jendela ruang keluarga rumah Anis. Setelah
Anis berganti pakaian ia kembali lagi ke ruang keluarga.
“Jadi, Abi sudah menyiapkan calon untukku?” tanya
dia pada laki-laki bertubuh besar dan berjenggot. Laki-laki itu Ayahnya, atau
sering aku dengar ia memanggilnya dengan Abi.
“Iya, Anis. Abi tidak akan langsung menikahkanmu
setelah lulus nanti. Tapi, Abi akan tetap mengkuliahkanmu, apa itu menyenangkan
dan tak memberatkanmu, bukan?”
Perempuan itu terdiam sejenak. Raut wajahnya kini
sulit kutebak.
“ Ya Abi, terimakasih.” Lalu, perempuan itupun pamit
pergi menuju kamarnya. Akupun segera menyusulnya. Namun, aku hanya bisa
melihatnya diluar, lewat jendela kamar Anis.
Anis duduk ditepi kasurnya. Lalu, tiba-tiba ia
menitikkan buliran air mata dari pelupuknya. Ah, betapa sakitnya hatiku saat
melihatnya menangis. Pipinya kini basah karena terlewati oleh deras air matanya
yang mulai menganak sungai. Aku tak tau mengapa ia tiba-tiba menangis? Yang
jelas, saat melihatnya begitu, entah mengapa hatikupun ikut hancur. Ingin
sekali rasanya, sekarang aku bisa memeluknya. Membiarkan ia bersender dan menangis dengan tenang di dadaku.
Kini, ia menengok ke arahku. Dan, ah! Aku lupa. Hampir saja, ia akan terkejut. Bahaya saja kalau
Anis tau ada makhluk sepertiku. Tapi, apa iya dia akan melihatku?
Dia menyeka air matanya dengan lengan kanannya.
Namun, hal itu sia-sia karena air matanya terus saja mengalir. Berulang kali ia
seka, dan akhirnya pipinya kini berwarna kemerahan karena terlalu sering
ditekan. Ia lalu menggapai sesuatu di sudut meja belajarnya. Ada kotak berwarna
coklat dengan gambar beruang diluarnya. Pelan-pelan dia membuka kotak, lalu
meraih sehelai kertas. Tapi, kurasa itu bukan. Belakangnya agak kumal. Aku
menggeser posisiku agak kesamping kanan. Foto! Ah, samar sekali foto itu.
Sebelum aku bisa melihat foto itu dengan jelas. Anis segera memasukkannya
kembali ke kotak berwarna coklat itu. Lalu ia segera berbaring diatas kasur
sembari terisak pelan.
∞
4 tahun kemudian..
“Andai, Umi kamu masih ada Nis. Pasti dia seneng
liat kamu mau nikah gini.”
Kulihat Anis hanya tersenyum tipis. Kurasa, ia tidak
senang dengan perjodohan ini.
4 tahun sudah aku selalu bersamanya. Menemani ia
disetiap deru napasnya dalam menjalani kuliah dan kehidupan. Kini, Anis telah
mendapakan gelar Sarjana Agama. Dan
kini, ia telah siap dipinang oleh seorang pria mapan berumur 28 tahun,
asal Jawa. Namanya, Reza. ,
Saat aku selalu berada didekatnya. Aku tau, aku
takkan pernah bisa ia lihat. Tapi, yang selama ini aku anehkan. Mengapa aku
begitu terkait dengannya. Seolah-olah dia, bagian dariku. Dan mengapa Tuhan
membiarkanku untuk datang ke dalam kehidupan Anis. Untuk apa aku kesini dan
untuk apa aku seolah-olah menjaganya?
Acara sudah siap dimulai. Rombongan pengantin pria,
Reza, sudah datang ke pelataran rumah Anis. Aku melihat Anis kembali. Namun,
kini ia tengah melihat foto itu lagi. Foto yang kumal yang selama ini belum
juga untukku bisa melihatnya dengan jelas. Aku penasaran sekali. Sebenarnya
siapa foto itu? Lalu akupun menghampiri Anis perlahan. Aku tercekat dan bulu
kudukku berdiri. Jadi, selama ini itu foto? Foto ku!
Aku mencoba meraih pundaknya. Dan, kini tubuhnya
bergetar. Ia perlahan mulai terisak. Aku, aku mulai mengingat semua ini, Nis.
∞
Saat itu, aku membawa motor dengan laju yang cukup
kencang. Bukan apa-apa, ini karena aku takut Anis terlalu lama menunggu. Karena
memang, aku menjanjikan bertemu dengan Anis 30 menit yang lalu.
Saat itu hujan turun dengan deras dan memang kondisi
jalanan pun agak licin. Aku yang khawatir dengan keadaan Anis, justru melajukan
motor dengan kecepatan 70km/jam. Dan, tepat dibelokkan itu, aku tergelincir.
Terjatuh dan aku tergolek kearah berlawanan. Dan diarah lain melaju juga sebuah
bus. Tak ayal lagi. Nyawaku ditarik pergi dari jasadku. Ditengah derasnya
hujan, semua orang mengitariku. Aku, keluar dari kerumunan itu dan mulai
berlari menuju tempat Anis.
Ah, rupanya ia masih disana. Aku mendekat kearahnya.
Kulihat ia, sepertinya tubuhnya menggigil. Aku mencoba menyentuh bahunya. Tapi,
tak bisa! Kenapa ini?
‘Anis!’ kataku berteriak. Namun, anehnya aku tak
dapat mengeluarkan suara apapun.
Hah, suaraku kemana?
Dan tiba-tiba
aku ditarik pergi lagi. Menuju langit teratas. Jauh sekali, tapi, entah mengapa
aku tak tau kapan pastinya. Aku diturunkan kembali, tanpa mengetahui apa yang
telah terjadi padaku. Aku terjatuh dan langsung bertemu Anis. Sosok yang langsung
kukagumi.
∞
Kini, aku
terdiam sambil memejamkan kedua mata. Tiba-tiba kurasa aku berada disebuah
lorong waktu. Aku hanya diam dan bisa menyaksikan semua itu terulang. Aku
bersama Anis. Dia yang memang kucintai tak hanya dihidupku, ternyata dalam matikupun
aku masih terikat dengannya.
‘Gimana ya,
kalo kita ampe nikah?’ katanya berucap asal.
‘Ya bagus
dong. Kamu ga mau?’ tawarku.
‘Mau gak ya?’
candanya, ‘Asal kamu dapet kerja terus kuliah.’
‘Ga kebalik
tuh?’ kataku diiringi tawa.
‘Eh, iya.
Kuliah dulu terus kerja.’ Ralatnya dengan mimik serius.
‘Iya dong,
biar nanti aku bisa dapet restu milikin kamu selamanyaa,’ seruku riang.
Pelan-pelan dia
tersenyum manis sambil sesekali menahan tawanya. Ah, hatiku kini terasa
melayang melihatnya tersenyum begini padaku.
∞
“Anis.. Bagaimana
ini? Jangan begini, kumohon,” pintaku dalam hati.
Sekarang, Anis
terdiam membisu. Ia melihat kearahku. Aku terdiam, karena aku rasa ia tak akan
dapat melihatku. Namun, aku salah.
“Galuh..”
lirihnya berucap.
Aku
tercengang. Namun, ia tak melanjutkan lagi kalimatnya karena Abinya masuk dan
menyuruhnya untuk keluar. Jantungku berdegup tak menentu. Jadi selama ini, apa
dia merasakan kehadiranku?
Saat ini,
kulihat ia tengah duduk dengan cantik disamping seorang pria. Anis tersenyum
tipis tapi aku tau ia mencoba untuk bahagia. Kuharap saja, Reza seorang pria
yang bertanggung jawab dan dapat menjaganya dengan baik kelak.
Tiba-tiba aku
ditarik kembali, ah aku tak tau mengapa ini begitu sakit. Aku kembali ditarik
keatas langit. Jauh, dan semakin menjauh dari mereka. Semoga kamu bahagia,
Anis.
Aku memang dia.
Dia yang
mencintaimu dan menjagamu.
Namun, terlalu
singkat untuk bersamamu.
Dia pergi atau
aku pergi
Itu sama dan tak
ada bedanya
Bukan maunya
atau mauku
Meninggalkan
kamu yang mencintai dia yaitu, Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar