(karya asli: syifa syafira alghifari)
“Kita hanya bayangan. Yang tak
nampak di bola matanya. Kita tetap berharap. Walau dia takkan bisa membalas
harapan kita.”
Kugerakkan mataku melirik kearah
kanan dan kiri. Hampir 10 kali. Kuharap ini sudah benar-benar aman. Kusiapkan camera digital yang sudah siap membidik
sesosok pria berkumis tipis dengan halis yang hampir bertautan itu. Jarak kami
tak cukup jauh, hanya 2 meter.
Tidak perlu bermenit-menit. Cukup 20
detik, foto Bintang sudah ada dalam layar camera.
Aku hanya terkekeh melihat aksi konyolku ini. Kulirik ketempat Bintang duduk
tadi. Ah, dia sudah tidak ada ditempatnya. Kusapukan pandanganku kesegala arah.
Aku tak bisa mencari jejaknya. Akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang
sembari melihat foto Bintang lagi.
Sudah selama 4 bulan ini aku mengincar
Bintang. Cowok biasa, yang mempunyai hobi membaca novel itu telah berhasil
menciutkan hatiku dan berhasil menjerumuskanku dalam hatinya. Dan, betapa
konyolnya aku yang kini malah menjadi pengagum rahasianya?
Secret
admirer?
Oke, kenapa aku ga berani bilang aja
atau ngode-ngode bahwa aku ada feeling kedia? Just information, aku enggak sejelek dan seburuk yang kalian pikir
kok. Aku cuma, terlanjur pernah bikin dia emosi sama aku dan bless! Aku masuk deh sama perangkapnya.
‘Bintaaaaaaang!!’ teriakku saat
memasuki kelas 11 Alam 2.
Seisi kelas tampak memperhatikanku
yang berada diambang pintu. Mukaku yang sudah merah padam tak bisa kukendalikan
lagi kewarna semula.
Lalu seorang cowok berjalan mendekat
dengan membawa sebuah novel ditangannya. Bintang menghampiriku. Dia menatapku
dengan dingin dan wajah yang ditekuk.
‘Ini kelas orang lain, sopan dikit
ya, Pay.’
Aku melongo kearahnya. Pay? Kata
yang dia biasa ucapkan pada orang yang dia anggap Kamseupay? Dan tadi, dia bilang
itu ke, Aku?
Aku hanya mengepalkan tanganku
dengan gemas. Ingin rasanya kuku-kuku panjang ini menggaruk mukanya hingga dia
berdarah. Tapi, niat ini segera aku urungkan. Mengingat, point yang akan aku
terima setelahnya jika aku membuat Bintang terluka.
‘Jadi, masalah lo apa?’
‘Lo kan, lo yang nyorat-nyoret
cerpen gue? Kata anak-anak lo paling demen ngomentarin cerpen orang. Berasa
senior, lo? Dan tentu, gue tau cara lo, jahat tau gak!’ kataku setengah
berteriak.
Bintang hanya tersenyum tipis. Dan, ini
benar-benar membuatku kesal karena senyumannya justru terlihat sinis dan
meremehkanku.
‘Bener kan, lo pelakunya!’ ucapku
lagi sembari menghardik.
‘Eh, lo punya buktinya engga kalo gue yang ngerusak
itu karya?’ Kini ia mulai berbicara. Sebelum aku akan menjawabnya, ia telah
mendahuluiku untuk berbicara.
‘Asal lo tau ya, nuduh tanpa bukti
itu fitnah. Dan, iya gue suka ngomentarin cerpen-cerpen orang. Tapi, gue juga
ga sejahat itu. Karena gue tau, karya siapapun itu berhak untuk dihargai. Oh,
iya lo mau tau siapa pelakunya kan? Nih, ada di flashdisk gue!” katanya.
Dia merogoh sakunya mengambil
flashdisk itu, lalu melemparnya padaku. Awas aja kalo ternyata dia nipu gue,
batinku merutuk.
Dan, malamnya saat aku mulai membuka
file satu-satunya yang berjudul “aksi hebat”. Aku tercengang.
Sebuah video yang berisi, seorang
anak laki-laki, yang kuketahui namanya, Opik. Sedang memegang sebuah spidol
berwarna merah. Ia menggeser kaca mading dan “APA!” teriakku.
Jadi, bocah, anaknya pak Kepala
Sekolah inilah pelakunya? Aku tertohok.
Oke, aku ikhlas. Tapi, kenapa ia
bisa dan untuk apa dia merekam ini? Apa dia tau akan terjadi hal begini? Ini,
benar-benar diluar pemikiranku.
Keesokan
harinya,
Aku berjalan lunglai, flashdisk yang
tengah kupegang akan segera kukembalikan pada pemiliknya. Saat menuju kelasnya,
rupanya kita berpapasan dijalan. Dia sedang memakai kaos olahraga yang lumayan
ketat. Sepertinya ia telah selesai berolahraga. Terlihat dari wajahnya yang
bercucuran keringat. Rambutnya yang basah. Dan, ya ampun, tak kusangka Bintang
semenarik ini, Tuhan.
Aku terdiam sendiri. Sampai
akhirnya, aku bisa mengendalikan kesadaranku kembali. Kukembalikan flashdisk
itu, sembari mengucap kata maaf dengan lirih. Aku tak tau, apa ucapanku terlalu
lirih atau memang dia kesal denganku, sehingga dia tidak mau membalas maafku?
Ah, tapi, kini mengapa aku jadi
selalu memikirkannya? Ternyata ada yang kulupa, wajahnya memang lumayan.
Bintang mempunya alis yang hampir bertautan, juga hidung yang mancung, walaupun
ia agak hitam namun ia tampak manis. Kumisnya yang tipis dan rambutnya dikala basah oleh keringat, menimbulkan kesan
seksi untukku. Tuhan, bagaimana ini?
∞
Aku tak tau hal nekat apa yang tengah aku lakukan. Kulirik
kearah kanan dan kiri. Perlahan kaki mungilku mulai melangkah masuk. Sepatu
ketsku pun kuangkat perlahan agar gesekan terhadap lantainya semakin kecil. Lalu,
dengan segera aku menghampiri bangku tempat Bintang duduk. Kutengok kearah
kolong meja nya. Setelah itu, aku mengecek kembali keadaan sekitar. Setelah
merasa aman. Aku menelan ludah. Lalu, memejamkan mata untuk sejenak. Akhirnya,
aku segera menyimpan surat itu dengan hati-hati.
2 hari kemudian. Hari ini aku
benar-benar stress. Bagaimana ini? Apa surat yang aku kirim sudah dia baca?
Sebenarnya, kemarin aku ingin segera mengecek ke bangku Bintang kembali. Tapi,
sayangnya kemarin suasana kelas Bintang cukup ramai sampai sore harinya aku
masih belum juga bisa mengecek lagi.
Dan hari ini, aku telah bersiap-siap
untuk mengambil misi rahasiaku.
Kulakukan hal yang sama seperti hari
Kamis. Kuraba perlahan dasar kolong meja. Ah, ini dia! Segera kuraih surat itu.
Dan mengecek sebentar kertas didalamnya. Beda! Berarti dia membalas suratku.
Kini ada sepercik kecil kehangatan
yang menelusup ke dalam hati. Rasa ke geeran ku makin lama makin memuncak saat
aku mulai membaca surat yang tengah aku genggam itu.
Halo,
Fans.
Sebelumnya
aku makasih banget karena kamu udah mau ngasih surat buat aku. Gatau karena apa
sih kamu mau ngirim surat? Padahal lewat sms juga bisa kan ngmodus nya?
Jujur
aku gatau musti bales apa. Aku kan disekolah bukan siapa-siapa terus aku juga
gapernah dan bukan jadi panitia MOPD atau PERSAMI kan? Coba, sekarang aku tebak
inti dari surat kamu itu.. kamu suka sama aku kan gitu? Oh iya, puisinya bagus
loh. Eh tapi, ko kamu bego ya. Mau dirapalin namanya ko ga nyantumin nama?
Aku berhenti sejenak. Ingin sekali
aku langsung membakar surat ini. Namun, rasa yang aneh ini telah menguasai
sebagian tubuhku. Benar-benar beruntung kau, Bintang!
Maaf
juga ya, kalo aku sebenernya ga suka..
Aku menghentikan apa yang tengah aku
baca. Ga suka? Kini jantungku makin berdebar-debar tak menentu.
Aku
ga suka sama warna suratnya. Kenapa coklat? Aku kan pengennya biru L
Krik.
Nah,
sekarang. Gimana kalo kita ketemuan. Besok aja ya ketemuannya. Kamu pasti mau
kan? Oh iya, kalo kamu ngerasa jelek dan bodoh. Sebaiknya mengundurkan diri
aja. Apalagi kalau mental kamu diambang udara. Jangaaan! Jangan ketemu aku.
Soalnya aku sifatnya kaya Napza. Bikin orang ketagihan. Wkwk. Okedeh, kalo emang mau, besok ya pulang sekolah di deket perpus!
Bye fans. Mmuach.
Besok.
Besooooook??!!!
Aku menelan ludah saat membaca
kembali bagian paragraph terakhir. Besok itu berarti sekarang? Ini sudah lebih jam
berapa?
Tanpa pikir panjang, segera
kujejalkan surat tadi ke saku rok. Setelah itu aku langsung berlari menuju
tempat yang dijanjikan Bintang. Ampun, apa aku akan benar-benar mengakuinya
nanti? Tapi, kalo dia ternyata enggak suka, terus nanti kalau aku diketawain sama
dia, gimana?
Kini, aku telah sampai. Namun, aku
tidak langsung menantinya di sana. Kuintip dahulu, takut-takut Bintang sudah
menungguku disana.
“Hey, Upay. Lagi ngapain ngintip-ngintip disono?”
Seketika mukaku merah padam. Suara
yang kukenal itu dari arah belakangku. Kuputar balik tubuhku dan kini aku tepat
berada disampingnya. Aku hanya tersenyum kecut dan sementara dia seperti
tersenyum penuh kemenangan.
Ia lalu menarikku dan langsung
menyuruhku untuk duduk.
“Kamu, lagi apa kesini?” tanyanya
kalem.
“Aku? Euh, mau ke… kesitu,” jawabku
sembari menunjuk perpustakaan.
Dia tertawa pelan mendengar
jawabanku. Aku benar-benar takut dia mengira aku si secret admirer ‘Bintang’.
“Oh iya, emang kalo aku lagi ngambek
itu bikin jantung kamu berdebar ya?” tanyanya sembari tertawa dan tiba-tiba.
Astaga. Jadi, dia sudah tau bahwa
aku yang..
“Ka-kamu, jadi kamu udah tau surat
i-itu dari aku?” tanyaku agak tergagap.
“Oooh, bener toh dari kamu!”
Sial! Jebakan lagi.
“Jadi, apa bener kamu yang ngirim
surat itu?”
Pertanyaan ini lagi. Bagaimana ini?
Banyak hal yang perlu aku pikirkan dan kupikir dengan kemampuan otakku ini tak
akan cukup dalam waktu beberapa menit. Tapi, Bintang terus memburu jawabannya.
Tatapannya menangkapku. Aku jadi tak bisa lari darinya.
Jujur? Apa aku harus melepaskan rasa
gengsiku? Tapi, bila Bintang ternyata tidak mencintaiku juga. Aku takut kecewa.
Hatiku tak bisa sekuat yang langsung melupakan rasa ini begitu saja.
“Ah, engga itu bukan dari aku.” elakku
sambil tersenyum paksa.
“Oh, bukan..” katanya gamang.
Aku melirik sebentar kearahnya. Apa
dia kecewa atas jawabanku tadi? Aku memang munafik Bintang, maafkan aku.
“..Kuharap tadinya itu kamu sih.”
Lirihnya diiringi tawa.
Aku terdiam. Meliriknya lagi dengan
tatapan tajam.
“Kenapa? Kecewa ya? Makanya jujur,”
ucapnya. Kini ia bangkit berdiri, lalu perlahan meninggalkanku pergi. Aku masih
terdiam.
Bodoh!
Kenapa sih ga jujur aja sekalian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar