Senin, 17 September 2012

Secret Admirer


(karya asli: syifa syafira alghifari)
 
“Kita hanya bayangan. Yang tak nampak di bola matanya. Kita tetap berharap. Walau dia takkan bisa membalas harapan kita.”

            Kugerakkan mataku melirik kearah kanan dan kiri. Hampir 10 kali. Kuharap ini sudah benar-benar aman. Kusiapkan camera digital yang sudah siap membidik sesosok pria berkumis tipis dengan halis yang hampir bertautan itu. Jarak kami tak cukup jauh, hanya 2 meter. 

            Tidak perlu bermenit-menit. Cukup 20 detik, foto Bintang sudah ada dalam layar camera. Aku hanya terkekeh melihat aksi konyolku ini. Kulirik ketempat Bintang duduk tadi. Ah, dia sudah tidak ada ditempatnya. Kusapukan pandanganku kesegala arah. Aku tak bisa mencari jejaknya. Akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang sembari melihat foto Bintang lagi.


            Sudah selama 4 bulan ini aku mengincar Bintang. Cowok biasa, yang mempunyai hobi membaca novel itu telah berhasil menciutkan hatiku dan berhasil menjerumuskanku dalam hatinya. Dan, betapa konyolnya aku yang kini malah menjadi pengagum rahasianya? 

            Secret admirer?

            Oke, kenapa aku ga berani bilang aja atau ngode-ngode bahwa aku ada feeling kedia? Just information, aku enggak sejelek dan seburuk yang kalian pikir kok. Aku cuma, terlanjur pernah bikin dia emosi sama aku dan bless! Aku masuk deh sama perangkapnya.

            ‘Bintaaaaaaang!!’ teriakku saat memasuki kelas 11 Alam 2.

           Seisi kelas tampak memperhatikanku yang berada diambang pintu. Mukaku yang sudah merah padam tak bisa kukendalikan lagi kewarna semula.

            Lalu seorang cowok berjalan mendekat dengan membawa sebuah novel ditangannya. Bintang menghampiriku. Dia menatapku dengan dingin dan wajah yang ditekuk.

            ‘Ini kelas orang lain, sopan dikit ya, Pay.’

        Aku melongo kearahnya. Pay? Kata yang dia biasa ucapkan pada orang yang dia anggap Kamseupay? Dan tadi, dia bilang itu ke, Aku?
     
       Aku hanya mengepalkan tanganku dengan gemas. Ingin rasanya kuku-kuku panjang ini menggaruk mukanya hingga dia berdarah. Tapi, niat ini segera aku urungkan. Mengingat, point yang akan aku terima setelahnya jika aku membuat Bintang terluka.
       
              ‘Jadi, masalah lo apa?’
         ‘Lo kan, lo yang nyorat-nyoret cerpen gue? Kata anak-anak lo paling demen ngomentarin cerpen orang. Berasa senior, lo? Dan tentu, gue tau cara lo, jahat tau gak!’ kataku setengah berteriak.
            
              Bintang hanya tersenyum tipis. Dan, ini benar-benar membuatku kesal karena senyumannya justru terlihat sinis dan meremehkanku.
             
            ‘Bener kan, lo pelakunya!’ ucapku lagi sembari menghardik.
‘Eh, lo punya buktinya engga kalo gue yang ngerusak itu karya?’ Kini ia mulai berbicara. Sebelum aku akan menjawabnya, ia telah mendahuluiku untuk berbicara.
          ‘Asal lo tau ya, nuduh tanpa bukti itu fitnah. Dan, iya gue suka ngomentarin cerpen-cerpen orang. Tapi, gue juga ga sejahat itu. Karena gue tau, karya siapapun itu berhak untuk dihargai. Oh, iya lo mau tau siapa pelakunya kan? Nih, ada di flashdisk gue!” katanya.
          
        Dia merogoh sakunya mengambil flashdisk itu, lalu melemparnya padaku. Awas aja kalo ternyata dia nipu gue, batinku merutuk.
            Dan, malamnya saat aku mulai membuka file satu-satunya yang berjudul “aksi hebat”. Aku tercengang.
            Sebuah video yang berisi, seorang anak laki-laki, yang kuketahui namanya, Opik. Sedang memegang sebuah spidol berwarna merah. Ia menggeser kaca mading dan “APA!” teriakku.
             
             Jadi, bocah, anaknya pak Kepala Sekolah inilah pelakunya? Aku tertohok.
              
            Oke, aku ikhlas. Tapi, kenapa ia bisa dan untuk apa dia merekam ini? Apa dia tau akan terjadi hal begini? Ini, benar-benar diluar pemikiranku.
           
Keesokan harinya,
            Aku berjalan lunglai, flashdisk yang tengah kupegang akan segera kukembalikan pada pemiliknya. Saat menuju kelasnya, rupanya kita berpapasan dijalan. Dia sedang memakai kaos olahraga yang lumayan ketat. Sepertinya ia telah selesai berolahraga. Terlihat dari wajahnya yang bercucuran keringat. Rambutnya yang basah. Dan, ya ampun, tak kusangka Bintang semenarik ini, Tuhan.
            Aku terdiam sendiri. Sampai akhirnya, aku bisa mengendalikan kesadaranku kembali. Kukembalikan flashdisk itu, sembari mengucap kata maaf dengan lirih. Aku tak tau, apa ucapanku terlalu lirih atau memang dia kesal denganku, sehingga dia tidak mau membalas maafku?
            Ah, tapi, kini mengapa aku jadi selalu memikirkannya? Ternyata ada yang kulupa, wajahnya memang lumayan. Bintang mempunya alis yang hampir bertautan, juga hidung yang mancung, walaupun ia agak hitam namun ia tampak manis. Kumisnya yang tipis dan rambutnya  dikala basah oleh keringat, menimbulkan kesan seksi untukku. Tuhan, bagaimana ini?

Aku tak tau hal nekat apa yang tengah aku lakukan. Kulirik kearah kanan dan kiri. Perlahan kaki mungilku mulai melangkah masuk. Sepatu ketsku pun kuangkat perlahan agar gesekan terhadap lantainya semakin kecil. Lalu, dengan segera aku menghampiri bangku tempat Bintang duduk. Kutengok kearah kolong meja nya. Setelah itu, aku mengecek kembali keadaan sekitar. Setelah merasa aman. Aku menelan ludah. Lalu, memejamkan mata untuk sejenak. Akhirnya, aku segera menyimpan surat itu dengan hati-hati.
            2 hari kemudian. Hari ini aku benar-benar stress. Bagaimana ini? Apa surat yang aku kirim sudah dia baca? Sebenarnya, kemarin aku ingin segera mengecek ke bangku Bintang kembali. Tapi, sayangnya kemarin suasana kelas Bintang cukup ramai sampai sore harinya aku masih belum juga bisa mengecek lagi.
            Dan hari ini, aku telah bersiap-siap untuk mengambil misi rahasiaku.
            Kulakukan hal yang sama seperti hari Kamis. Kuraba perlahan dasar kolong meja. Ah, ini dia! Segera kuraih surat itu. Dan mengecek sebentar kertas didalamnya. Beda! Berarti dia membalas suratku.
            Kini ada sepercik kecil kehangatan yang menelusup ke dalam hati. Rasa ke geeran ku makin lama makin memuncak saat aku mulai membaca surat yang tengah aku genggam itu.
           
 Halo, Fans.
            
            Sebelumnya aku makasih banget karena kamu udah mau ngasih surat buat aku. Gatau karena apa sih kamu mau ngirim surat? Padahal lewat sms juga bisa kan ngmodus nya?
         Jujur aku gatau musti bales apa. Aku kan disekolah bukan siapa-siapa terus aku juga gapernah dan bukan jadi panitia MOPD atau PERSAMI kan? Coba, sekarang aku tebak inti dari surat kamu itu.. kamu suka sama aku kan gitu? Oh iya, puisinya bagus loh. Eh tapi, ko kamu bego ya. Mau dirapalin namanya ko ga nyantumin nama?
          
            Aku berhenti sejenak. Ingin sekali aku langsung membakar surat ini. Namun, rasa yang aneh ini telah menguasai sebagian tubuhku. Benar-benar beruntung kau, Bintang!
             
            Maaf juga ya, kalo aku sebenernya ga suka..
            
          Aku menghentikan apa yang tengah aku baca. Ga suka? Kini jantungku makin berdebar-debar tak menentu.
          
           Aku ga suka sama warna suratnya. Kenapa coklat? Aku kan pengennya biru L

Krik.
            
         Nah, sekarang. Gimana kalo kita ketemuan. Besok aja ya ketemuannya. Kamu pasti mau kan? Oh iya, kalo kamu ngerasa jelek dan bodoh. Sebaiknya mengundurkan diri aja. Apalagi kalau mental kamu diambang udara. Jangaaan! Jangan ketemu aku. Soalnya aku sifatnya kaya Napza. Bikin orang ketagihan.   Wkwk. Okedeh, kalo emang mau, besok ya pulang sekolah di deket perpus! Bye fans. Mmuach.

Besok.
            Besooooook??!!!
            Aku menelan ludah saat membaca kembali bagian paragraph terakhir. Besok itu berarti sekarang? Ini sudah lebih jam berapa?
            Tanpa pikir panjang, segera kujejalkan surat tadi ke saku rok. Setelah itu aku langsung berlari menuju tempat yang dijanjikan Bintang. Ampun, apa aku akan benar-benar mengakuinya nanti? Tapi, kalo dia ternyata enggak suka, terus nanti kalau aku diketawain sama dia, gimana?
           
        Kini, aku telah sampai. Namun, aku tidak langsung menantinya di sana. Kuintip dahulu, takut-takut Bintang sudah menungguku disana.
“Hey, Upay. Lagi ngapain ngintip-ngintip disono?”
            Seketika mukaku merah padam. Suara yang kukenal itu dari arah belakangku. Kuputar balik tubuhku dan kini aku tepat berada disampingnya. Aku hanya tersenyum kecut dan sementara dia seperti tersenyum penuh kemenangan.
            Ia lalu menarikku dan langsung menyuruhku untuk duduk.
            “Kamu, lagi apa kesini?” tanyanya kalem.
            “Aku? Euh, mau ke… kesitu,” jawabku sembari menunjuk perpustakaan.
            Dia tertawa pelan mendengar jawabanku. Aku benar-benar takut dia mengira aku si secret admirer ‘Bintang’.
            “Oh iya, emang kalo aku lagi ngambek itu bikin jantung kamu berdebar ya?” tanyanya sembari tertawa dan tiba-tiba.
            Astaga. Jadi, dia sudah tau bahwa aku yang..
            “Ka-kamu, jadi kamu udah tau surat i-itu dari aku?” tanyaku agak tergagap.
            “Oooh, bener toh dari kamu!”
            Sial! Jebakan lagi.
            “Jadi, apa bener kamu yang ngirim surat itu?”
           
           Pertanyaan ini lagi. Bagaimana ini? Banyak hal yang perlu aku pikirkan dan kupikir dengan kemampuan otakku ini tak akan cukup dalam waktu beberapa menit. Tapi, Bintang terus memburu jawabannya. Tatapannya menangkapku. Aku jadi tak bisa lari darinya.
            Jujur? Apa aku harus melepaskan rasa gengsiku? Tapi, bila Bintang ternyata tidak mencintaiku juga. Aku takut kecewa. Hatiku tak bisa sekuat yang langsung melupakan rasa ini begitu saja.
            “Ah, engga itu bukan dari aku.” elakku sambil tersenyum paksa.
            “Oh, bukan..” katanya gamang.
            Aku melirik sebentar kearahnya. Apa dia kecewa atas jawabanku tadi? Aku memang munafik Bintang, maafkan aku.
            “..Kuharap tadinya itu kamu sih.” Lirihnya diiringi tawa.
            Aku terdiam. Meliriknya lagi dengan tatapan tajam.
            “Kenapa? Kecewa ya? Makanya jujur,” ucapnya. Kini ia bangkit berdiri, lalu perlahan meninggalkanku pergi. Aku masih terdiam.
         
               Bodoh! Kenapa sih ga jujur aja sekalian?

Tidak ada komentar: