Minggu, 09 September 2012

Ulang Tahun terakhir

(karya asli: Syifa Syafira Alghifari)

"Inginku, bisa melihatmu lebih lama, lebih jauh di tahun baruku ini."

            Ruangan tampak ramai diisi oleh riuh rendahnya suara tawa dari setiap sudutnya. Kulihat senyum Lingka yang mengembang sempurna dihias pipi beralas soft pink. Lingka adalah sang ratu pesta pada malam itu. Di hari ulang tahunnya yang ke 17 ia hampir mengundang seluruh siswa seantero sekolah. Lingka, walaupun dia cantik dan terkenal. Dia rupanya masih mau untuk menjadi sahabatku. Dan dia cukup baik untukku walau kadang sifat sombongnya membuatku agak segan dan sedikit muak. Tapi, aku tau, sahabat itu takkan ada yang sempurna. Bagiku, dia menanggapi obrolanku pun, aku amat senang. Yah, setidaknya aku merasa dihargai olehnya.
         
           Bulan ini juga, aku akan berulang tahun. Tapi, kupikir hayalanku untuk mengadakan pesta sebesar Lingka tak dapat menjadi nyata. Never. Bayangan mendapatkan kue tart pun kuanggap konyol. Beli? Uang dari mana? Bila dari tabunganku. Kupikir, itu hanya akan terbuang sia-sia apalagi jika kue yang seharusnya dimakan itu malah dibuang atau dioleskan ke wajah.
            “Mutuul!” teriak seseorang dari arah belakang. Aku memutar leherku 90˚ kearah kanan. Aku hanya memanyunkan bibirku saat dia sudah berada tepat didepanku.
            “Panggilnya jangan itu ih. Nama aku kan Muthia! Lagian, ini ditengah anak-anak gini, malu tau.” protesku padanya.

            “Oke sip lah, Sayangkuu.” Serunya sembari mencibir.

             Kiki. Dia pacarku. Kupikir sosok cowok yang akan menerimaku apa adanya itu hanya hayalan. Tapi, setelah iya ada. Betapa aku bersyukur atas kehadirannya. Dulu aku berpikir, untuk mencari seseorang yang dapat menerimaku apa adanya dan biasa-biasa saja susah apalagi ke tingkat sempurna. Namun dia, sudah ia bisa menerimaku apa adanya diapun termasuk siswa berprestasi di sekolah. So, how fortunately am i?

            “Yuk, ah kita kesana. Udah mau mulai kan acaranya?” ajaknya padaku.
            “Iya kayaknya. Yaudah, yuk!”

            Aku dan Kiki pun segera berjalan mendekat kemeja tempat Lingka akan meniup dan memotong kue tart bertingkat 5 itu. Aku memandang kue tart itu sembari berhayal. Jika aku yang mempunyai kue tart ini, pasti Winda dan Popi akan berseru kegirangan. Dan, kupikir aku juga akan membagikannya pada teman-teman seusia Winda dan Popi.
            Kini Lilin sudah dinyalakan. Kamipun segera menyanyikan nyanyian tiup lilin. Lingka tampak gembira. Tersirat sekali diwajahnya. Setelah Lingka selesai meniup lilin, ia lalu disodorkan pisau untuk segera memotong  kue tart bertingkat 5 itu. Potongan pertama, ia berikan pada Ayah dan Mama nya. Setelah itu Kakanya dan Dion pacarnya. Setelah Dion barulah aku.
            Acara ini pun berakhir dengan meriah. Keesokan harinya, orang-orang tampak ramai membicarakan acara semalam. Lingka pun tersenyum puas saat melihat semua orang menyukai pestanya.

            “Eh, iya bentar lagi lo ulang tahun kan, Muth?” tanya Lingka sambil terus berkonsentrasi pada cat kuku nya.
            “Iya. Mm, kenapa?”
            “Besok kan? Mau dirayain dimana?” tanyanya lagi
            “Iya. Tapi, kayaknya kalo aku ga dirayain deh, Ka.” Jawabku dengan senyum masam.
            “Yah, sayang banget ya. Itu ultah lo yang ke 17 juga kan?” tanya dia, kini ia menatapku dengan tatapan kasihan.
            “Iya sih, heem..” ucapku makin datar.

            Sebenarnya, sedari tadi hatiku telah memanas mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Lingka. Jujur, tadinya aku ingin marah. Akan tetapi, rasanya ini sepele. Untuk apa aku marah karena hal sekecil ini.
            Aku lalu bangkit berdiri, dan mengajak Lingka untuk keluar kelas, namun, Lingka masih asyik berkutat dengan cat kuku dan kini rupanya ia tengah menata rambut ikalnya itu. Tanpa berlama-lama aku segera keluar kelas dan mencari tempat yang nyaman untukku menghirup udara segar.
            “Hey! Kenapa bengong sih, yang?” tanya Kiki yang tiba-tiba ada disampungku.
            “Biasa, si Lingka. Agak nusuk lagi yang.”
            “Kamu sih, jadi temen malah ngediemin sifatnya. Harusnya yang kaya gitu kali-kali  ditegor. Kalau engga, ya berarti kamu bukan temennya. Berarti kamu bikin dia semakin jahat dan kamu berarti ga sayang sama masa depan dia.” Nasehatnya padaku.
            Aku termenenung sejenak. Merenungi tiap kata demi kata yang tadi diucapkan oleh Kiki. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
“Iya biarin aja deh. Soalnya aku cuma sayang sama kamuu, eaaa.” Kataku dengan nada menggoda.
            “Idih, ngegombel yaa,”
            “Iya gak yaaa?” kataku sambil tertawa.

            “Eh, besok kamu ulang tahun kan?”
            Aku menengok kearahnya, lalu ku angkatkan kedua bahu sembari memainkan mataku dan tertawa kembali.

            “Selamat ulang tahun, Sayang.” Kata Ibu yang langsung mencium keningku. Aku tersenyum. Ingin rasanya aku menangis. Adik-adikku pun tampak bergerumul mengelilingiku yang masih berada ditempat tidur.
            Lalu Ibu menarikku dalam pelukannya. Tangiskupun tumpah. Apalagi saat kulihat sebuah bingkai yang didalamnya terdapat foto sebuah keluarga.
            Ayah, hari ini aku tepat berumur 17 tahun. Ibu telah berhasil menjagaku sampai saat ini. Dan, adik-adikku juga. Ayah, bisakah ayah datang ke dalam mimpiku nanti malam? Ayah tau kan, setiap aku ulang tahun. Dulu Ayah selalu mengajakku untuk pergi makan malam bersama. Melewati pertambahan umur dengan awal yang indah. Dan, Ayah bilang. Ini semacam doa, agar tahun kemudian hari-hari yang akan kita jalani bisa lebih indah lagi.
            Ah, Ayah, mengapa fotomu itu terus membuatku membanjiri pipi ini.
            Kau memeluk Ibu dengan senyum yang menghias pipimu. Popi dan Winda berada dipangkuanmu juga Ibu. Dan aku berada dibelakang kalian.
            Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku pun segera bergegas melihat siapa orang yang berada diluar. Kuintip sebentar dari kaca sebelah pintu. Seorang pria berambut hitam tebal. Dia mengenakan kemeja putih bergaris hitam vertical dan celana jeans.
            Kiki tersenyum saat pintu telah terbuka dan mendapati aku yang membukakan pintunya.
            “Happy Birthday, Muthi sayaaang!” serunya yang langsung berhambur memelukku.
            Aku terkekeh kecil. Ini ulang tahun pertamaku mendapat ucapan dari seorang kekasih dalam keadaan belum mandi tentunya.
            “Aku belum mandi, loh!” kataku dengan nada menakut-nakuti.
            “Ga masalah!” tukasnya tanpa melepaskan pelukannya.
            Lalu, aku pun pamit sebentar untuk membersihkan badanku. Setelah selesai mandi, akupun menghampiri Kiki kembali di ruang tamu. Kini semuanya ada disini, kecuali Lingka. Memang, ulang tahunku tak ada suara penyanyi atau band seperti yang Lingka rayakan. Dan memang, ulang tahunku hanya dihadiri oleh keluargaku dan pacarku saja. Dan satu lagi, kue tart dan nyanyian tiup lilin memang tak menghiasi meja yang ada didepanku saat ini. Namun, ucapan tulus mereka benar-benar berarti untukku.
            “Beli kue buat kamu yuk!” Ajaknya.
            Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Apa dia begitu tau apa yang aku impikan? Tuhan, malaikat sebaik apa dia yang telah kau ciptakan untukku.
            Aku lalu diajaknya menuju toko kue. Aku disuruhnya untuk memilih apa yang ingin aku beli. Tapi, sungguh aku bingung. Aku masih terlalu senang dengan perhatiannya.
            Setelah menenteng 1 kotak berisi sebuah kue tart. Kami segera keluar dari toko tersebut. Namun, saat akan menyalakan motor. Kiki lupa kuncinya tertinggal di toilet di dalam toko tadi. Lalu, ia memintaku untuk menunggunya diluar saja.
Sayangnya, dari arah kiri jalan ada sebuah truk yang melaju dengan kencang dan oleng. Dan truk itu melaju kearahku!
            “Muthiaaa!” Seketika, aku hanya bisa menutup kedua mata. Rasanya ada yang mendekapku untuk sekejap. Tapi, tak lama memang. Apa Kiki yang memelukku? Bukan! Dia berkumis dan itu seperti, Ayah.
            Cukup lama rupanya. Aku kini seperti melayang. Tubuhku terhantam cukup kencang dan terhempas sejauh beberapa meter. Kue tart dari Kiki pun sudah jatuh berantakan di jalan. Aku dapat mencium bau darah segar yang mengucur dari pelipis dan kepala. Semuanya lama-kelamaan meredup. Aku seperti ditarik untuk pergi. Ah, sakit sekali. Namun, Ayah membantuku untuk terlepas dari mereka.
            Tiba-tiba sekarang sudah bisa kudengar bisikkan orang-orang dan sekumpul orang yang agak samar berada di hadapanku. Kulirik mataku kearah kanan. Kiki! Mataku kini terbelalak.
            Kiki berada disampingku dengan tangan kanan yang masih menyentuh tangan kiriku. Kepalanya tampak bersimbah darah. Aku tak tau dimana kue tart yang tadi dipegang olehku. Lalu, aku dibantu beberapa orang untuk berdiri. Namun, aku melihat Kiki yang justru dibopong. Kepalaku kini mulai terasa pening. Seketika, semuanya tampak gelap. Aku pingsan.
            Kiki memegang tanganku dengan erat. Ia membelai rambutku dengan lembut. Tatapannya sangat sendu dan ia terlihat sangat sedih.
            ‘Ki, kamu ko kayak yang sedih gitu?’ tanyaku padanya.
            ‘Muth, aku harus pergi. Tugasku udah selesai.’ Lirihnya.
            ‘Tugas? Tugas apa, Ki?’ tanyaku lagi penasaran.
            Namun, Kiki tidak menjelaskan apapun lagi padaku. Angin berhembus kencang dan seketika bayangan Kiki itu hilang. Dan kini, mataku mulai terbuka, perlahan walau agak samar aku bisa melihat seseorang yang kukenal.
            “Kamu, ga papa kan Muth?” tanya orang itu padaku.
Rambut ikalnya membuatku tau bahwa dia sahabatku, Lingka. Kupikir, dia tidak seperhatian ini. Ah iya, Kiki, dimana dia sekarang?
            “Aku? Aku engga papa ko. Kiki mana, Ka?” tanyaku padanya sambil mencoba melihat seisi ruangan ini.
            Lingka tak bisa menjawab apa-apa. Sudah kuduga, jawaban bayangan tadi kini sudah terjawab. Aku tak bisa menahan tangis lebih lama lagi, kini aku larut dalam tangisku.

            Aku memegang segunduk tanah yang sudah terdapat tanaman liar dimana-mana itu. Aku mencabut satu persatu rumput liar yang menghiasi makam Kiki. Sudah 5 tahun lagi. Dan ini hari ulangtahunku yang ke 22. Hari kelahiranku dan hari kematian untuk Kiki. Tanpa terasa, buliran air mata itu menggenang di pelupuk mata. Semakin lama semakin banyak sehingga kelopak mataku pun tak bisa menampungnya. Maka, banjirlah kini pipiku.

         Terlintas lagi video seseorang yang merekam peristiwa tertabraknya aku dan Kiki 5 tahun lalu. Sebuah truk tampak melaju kencang dan truk itupun hilang kendali. Supir truk itupun menghantamkan kemudinya kearah sisi kiri jalan. Dan disitu terlihat seorang perempuan yang tengah menenteng plastik tampak diam berdiri disana. Tiba-tiba dari arah belakang si perempuan itu muncul seorang pria yang berlari dan berteriak. Lalu, pria itu langsung mendekap perempuan itu didalam pelukannya. Perempuan dan pria itupun tertabrak truk dan tubuh mereka terhempas beberapa meter. Dan ketika tubuh mereka menghantam jalan kembali, kepala mereka mulai bercucuran darah. Dan disini masih bisa kulihat pria itu mendekatkan bibirnya ke atas kening si perempuan.

          Ternyata, Kiki mencium keningku sebelum ia benar-benar menghembuskan napasnya.

          Tuhan, aku tak tau kapan ajal akan menjemputku. Tapi, disetiap waktuku aku selalu berharap panjangkan umurku beserta seluruh keluargaku. Dan, harapanku tak akan neko-neko lagi. Kupikir, mendoakan atau berdoa agar panjang umur pun cukup dan tidak semestinya juga kita meminta doa tersebut disaat kita ulang tahun saja kan?

Tidak ada komentar: