Igee masih terus menghentakkan kedua kakinya secara
bergantian sambil memukul-mukul meja belajar didepannya. Ia sudah tak peduli,
ketika barang-barang diatas mejanya itu mulai berjatuhan dan berserakan
dilantai.
“Iiiih, ini
guenya yang kege-eran atau emang lo suka sama gue sih?” teriaknya dengan cukup
kencang.
“Igii,
berisik tau gak sih!” protes kakaknya, Mia, yang merasa acara tidur siangnya
terganggu oleh teriakkan adiknya.
Igee hanya
mendelik sembari memanyunkan bibir mungilnya. Sesaat ia terdiam kembali,
tertunduk dan kesal. Dia tengah bingung tentang perasaannya. Dan, dia pikir
bukan perasaannya saja, ia tengah mempertanyakan seseorang yang ia ingin tanyakan
perasaanya juga.
***
‘Tuh, Gi, si
Jildan kayak yang merhatiin kamu gitu.’ Seru Rizka pelan sambil mencubit-cubit
lengan Igee.
Igee hanya
tertunduk dan sesekali menyuruh Rizka –sahabatnya- untuk bersikap biasa saja. Kini, jantungnya
berdegup dengan kencang. Sebenarnya ia ingin sekali memergoki Jildan dengan
kedua matanya. Namun, ia merasa malu jika Jildan benar-benar sedang
memperhatikannya. Anehnya, seharusnya Jildanlah yang merasa malu jika ia
dipergoki, tapi, disini Igee lah yang entah kenapa tidak berani bila ia akan
bertatapan nantinya.
Igee
memasukan buku-buku pelajaran kedalam tasnya. Pelajaran terakhir telah usai,
dan kini ia akan bersiap-siap untuk pulang. Ia melirik sebentar kebelakang,
melihat atau lebih tepatnya mencuri pandang kearah Jildan. Pria itu tengah
tertawa bersama teman sebangkunya, Awan.
Igee
menghela napas, batinnya meracau, sampai
kapan perasaannya ini ia pendam? Sampai kapan, perasaannya ini hanya untuk
dirinya sendiri?
Igee melangkah dengan lunglai,
pertama karena memikirkan Jildan, dan yang kedua karena tas yang ia bawa memang
cukup berat.
Saat ia tiba
digerbang sekolah, ia menengadah kearah langit. Rintikkan hujan terasa menetes
mengenai wajahnya, ia lalu berlari kearah kanan gerbang menuju halte dengan
cepat. Lalu, beberapa detik kemudian hujan pun mulai turun dengan deras.
Mukanya semakin kusut saja, mengingat jarak tempuh menuju rumahnya lumayan
jauh. Sekarang jam sudah menunjukan 16.00, dan Bus tujuannya belum juga
melewati jalanan itu.
Ia menatap
rintikkan hujan itu sampai akhirnya mulai mereda. Lalu, ia berpikir untuk
berjalan beberapa meter kedepan mencari bus tujuannya. Ia berdiri dan disaat ia
melihat kearah gerbang sekolah, ia terkejut dan jantungnya mulai berdegup lagi.
Mulutnya tiba-tiba terbuka, dan dengan refleks ia berteriak,
“Jildaaan!”
Jildan
melihat kearahnya, lalu motor itupun mulai melaju mendekati Igee. Detakan
jantung Igee pun mulai tak menentu,
“Gi?
Kamu yang manggil aku?” tanya Jildan
yang kini tepat berada didepannya.
“Eh,” jawab
Igee kebingungan.
“Mau apa
cepetan, ujannya udah mau deres lagi nih,” serunya pada Igee sambil
melihat-lihat kearah langit.
Igee tak
menjawab, sebenarnya kini ia tengah terpana dan asyik melihat senti demi senti
lekukan wajah Jildan. Putih, bulu matanya lentik dan dibalut dengan mata
cokelat yang indah.
“Igeee!”
ucap Jildan sambil menepuk-nepukan kedua tangannya didepan wajah Igee.
“Ah, iya sok
aja.” Kata Igee asal.
Kini Jildan
turun dari motornya, mendekati Igee yang menurutnya, pasti Igee tengah terlamun
dalam imajinasinya.
“Yuk, mau
nebeng pulang kan?” ajak Jildan tiba-tiba.
Seketika
Igee tersadar. Bukan hanya karena ia diajak untuk pulang bersamanya, akan
tetapi saat tangannya ditarik menuju motornya, rasanya seperti tersengat oleh
Listrik!
Beberapa
menit kemudian, Igee sudah berada dibelakang jok motor Jildan. Ia masih tak
percaya dengan apa yang terjadi saat ini, dan tiba-tiba terlintas dibenaknya.
Hal paling gila menurutnya,
Ah, aku udah
gakuat, oke kalo udah nyampe kita selesain semuanya, batin Igee.
Dalam
perjalanan menuju rumah Igee, ternyata hujan kembali turun dengan deras dan
jarak menuju rumah Igee masih jauh. Maka, Jildan memutuskan untuk berhenti di
sebuah warung pinggir jalan karena melihat kondisi jalanan juga yang licin.
Warung tempat
mereka berhenti rupanya hanya bekas warung. Terlihat dari luarnya dengan
kondisi kayu-kayu yang menjadi penutup warung itu sudah agak lapuk dan
lantainya pun kotor.
Igee dan
Jildan hanya saling diam, terlebih kini mereka memang sudah basah kuyup dan tak
tau bahan apa yang cocok untuk diobrolkan ditengah-tengah hujan deras. Kini,
Igee berpikir kembali tentang rencananya itu. Tapi, dia merasa takut apalagi
saat ini jantungnya kembali berdetak dengan kencang, membuat ia grogi. Igee
melirik sesaat kearah Jildan yang berada dipinggir sebelah kanannya. Lalu ia
menggeser duduknya perlahan, dan mulailah ia menimang-nimang kembali. Well,
“Dan, aku
kesiksa.” Ucap Igee mantap sembari menatap kearah Jildan.
“Kesiksa
kenapa?” tanya Jildan yang otaknya merasa bingung dengan kalimat ‘kesiksa’.
Tangan Igee
pun mulai mendingin, gawaaat,
pikirnya.
“Eh, maaf
nih pake jaket aku, itu kamu tuh,” kata Jildan gugup sembari memberikan
jaketnya pada Igee.
Igee merasa
bingung, lantas ia melihat dirinya, dan ya ampun, tubuhnya sudah basah kuyup
dan parahnya itu membuat kaos dalamnya terlihat walau agak samar. Igee pun
segera menerima jaket Jildan dan memakainya.
“Paraaaah sumpah!” rutuk Igee dalam hati
to be continue.. next
Tidak ada komentar:
Posting Komentar