Sabtu, 25 Oktober 2014

Beda itu Kita dan Cinta

Beda itu Kita dan Cinta.
Karya: Syifa Syafira Alghifari 

Angin menerjang tubuhku yang masih berdiri tegap didepan laut. Mataku terpejam sembari mengulurkan tangan kananku yang kukepal karena menggenggam sesuatu. Butiran abu itu kugenggam sedemikian erat sehingga sedikit demi sedikit abu itu terjatuh ke bawah menyatu dengan air laut. Aku membuka mata, dan akhirnya aku hanya menatap kosong ombak yang sedang bergulung-gulung. Tak kusangka, acara itu telah selesai. Acara ngaben, acara yang menurut mereka adalah suatu kebahagiaan, karena telah selesai bertanggung jawab akan jasadnya. Aku tak mampu menangis lagi, karena rupanya air mataku sudah habis semenjak 7 tahun yang lalu, saat ia pergi meninggalkanku.
***

Sudah puluhan kali, sepanjang aku berumur 20 tahun, aku dan keluargaku berlibur pergi ke Bali. Memang, kadang bukan hanya karena liburan melainkan lebih banyak karena urusan keluarganya. Tujuan penerbanganku kali ini tak lain menuju Bali. Tetapi, berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Kali ini, aku pergi kesana tidak membawa urusan keluarga. Ini benar-benar sebuah liburan, dan beruntungnya lagi aku hanya pergi sendiri kesini. Mengasyikan bukan? Yah, ini memang belum waktunya untuk libur semester. Aku tak keberatan walaupun nanti aku mesti keteteran tugas kuliah saat aku kembali ke Surabaya.
Jarak penerbangan dari Surabaya ke Bali tak cukup lama, kurang lebih hanya 30 menit. Sedari tadi, aku terus berkhayal memikirkan tempat apa saja yang harus kutaklukan seminggu ini. Ah, tak henti-hentinya dalam hati aku mengucap syukur.
Tante Prameswari, atau biasa kupanggil Tante Ame ini mengajakku liburan dirumahnya, tepatnya didaerah Uluwatu, Bali.  Dan tentu, dengan senang hati aku mengiyakan ajakannya. Awalnya, seperti biasa ayah menentangku untuk terbang ke Bali sendirian. Tetapi, karena aku memaksa dan berkat bantuan Tante Ame juga yang akhirnya membuat Ayah kalah.
Akhirnya aku sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai dengan selamat. Setelah itu segera kutelpon agen mobil sewaan yang biasa aku gunakan ketika disini. Tak sampai sejam, mobil yang kupesan telah sampai. Maka dengan wajah yang penuh semangat aku berlari masuk ke dalam mobil tersebut.
“I’M READEEH BALEEH!”
Aku tak langsung menelpon Tante Ame mengenai aku yang sudah berada di Bali. Karena, jiwa petualanganku mencuat seketika, tepat ketika melihat beberapa baligho besar bergambar pantai-pantai indah itu. Tanpa pikir panjang akhirnya aku segera memerintahkan pak Candra, sang supir agar pergi ke pantai yang paling terkenal di Bali. Yap, Kuta.
Saat didalam mobil, aku tak pernah merasa bosan menatap jalanan Bali. Melihat rumah-rumah dengan pura disetiap rumahnya. Ciri khas yang sangat eksotik. Ditambah suasana yang tak begitu panas layaknya Surabaya, membuatku mulai merasa betah.
Akhirnya pak Candra memarkirkan mobilnya ke sisi jalan. Kini dapat kulihat disisi kiri mobilku banyak orang berlalu lalang, kulihat juga banyak butiran pasir dijalanan. Bibirku mengembang, aku memang telah sampai di pantai Kuta. Pak Candra kutinggalkan disana, aku merasa dia sudah dapat kupercaya setelah tadi dijalan aku mengobrol dengannya ngalor-ngidul.
 Aku hanya membawa tas yang berisi dompet beserta alat kosmetik yang biasa aku bawa. Dan mulailah aku menelusuri pantai. Walaupun panas matahari terasa menembus baju lengan panjangku, tapi aku masih merasa adem karena mungkin efek dari hatiku juga yang sedang mood. Sepuas berjalan-jalan menelusuri pantai, aku pun merasa lelah sehingga mataku mulai berkeliling  mencari tempat duduk yang pas untukku beristirahat. Beruntungnya, disini banyak sekali kursi berjemur yang disewakan dimana-mana.
Kupilih salah satu tempat untukku beristirahat. Sesekali angin pantai membuat mulutku menguap sampai beberapa kali. Dan entah, pada detik berapa kemudian akupun terlelap. Aku tersadar kemudian ketika suara telfon yang berasal dari tante Ame membangunkanku. Ia bertanya padaku apa benar kalau aku sudah berangkat dan sudah sampai di Bali. Sesegera mungkin aku mencari mobil yang kusewa, dengan pak Candra dan barang-barangku yang ada didalam mobil tadi. Namun, mungkin ingatanku memang buruk. Aku lupa arah jalan pulang. Dan mungkin inilah yang membuat ayah tak mau membiarkanku untuk bepergian sendiri. Kemudian secercah cahaya masuk menerangi kebuntuanku, aku ingat saat kami mengobrol, aku telah meminta nomor telepon pak Candra.
Tanpa pikir panjang, segera ku telfon nomor pak Candra, sambil mencoba berjalan pelan mengingat-ngingat jalanan mana yang sudah aku lalui. Namun, nomor yang kuhubungi itu tak terus diangkat. Aku merasa cemas dan akhirnya aku menghentikan langkahku. Aku melihat sekeliling, terdiam sesaat lalu tiba-tiba aku ingat tempat ini. Tempat dimana, tepat disamping pintu masuk itu pak Candra menurunkanku. Dan kini, mobil itu hilang. Juga pak Candra yang tak juga mengangkat telfonku.
Saat aku terdiam dengan wajah masam, seseorang menghampiriku. Seorang laki-laki memakai pakaian khas bali, kukira bli ini berumur 40-an. Dia seorang tour guide yang juga banyak berseliweran di daerah ini. Ia mendekatiku lalu bertanya dengan bahasa inggris. Ingin sekali aku tertawa. Namun, kucoba untuk menahan tawaku yang mungkin akan membuatnya tersinggung atau merasa aneh. Lalu kujelaskan secara panjang lebar padanya tentang kronologis bagaimana aku yang akhirnya bisa tak tau dimana tempat aku turun. Kemudian, setelah aku selesai menjelaskan, ia hanya terdiam dan segera meminta maaf karena tak bisa membantuku. Rupanya, ia juga tengah menjalankan tugas, karena kulihat tak jauh dari sini ada sepasang turis asing yang memanggil namanya beberapa kali dari kejauhan. Ia memohon pamit padaku dengan tanpa secercah informasi sedikitpun untukku. Aku menghela nafas dalam, lalu diam kembali.
Beberapa menit kemudian, aku melihat satu sosok lelaki muda. Mungkin dia seumuran denganku. Dia mengenakan pakaian seperti tour guide lagi. Ia tersenyum menghampiriku.
            “May I help u?” tanyanya.
Aku termangu sendiri. Rupanya, dia juga mengiraku turis asing seperti bapak tour guide tadi. Lalu, aku tersenyum geli padanya.
Aku memang mempunyai dua campuran darah dan bangsa. Ayahku berasal dari turki dan ibuku adalah asli Bali. Aku mendapati hidung mancung ini dari Ayah, dan rambut hitam panjang ini juga mata cokelat dari Ibu, namun kebanyakan tubuhku ini terdapat gen dari Ayah, dan aku menduga karena itulah mereka tadi berbicara inggris kala bertanya padaku.
            “Ah?    Ini, aku kehilangan mobil sewaan ku. Aku rasa, tadi aku turun disini. Tapi, setelah aku kembali, mobil itu hilang. Apa kau tau?” tanyaku balik.
            Mata sipitnya menatapku lekat. Aku tau bahwa ia merasa kaget. Tersirat sekali dari cara ia menatapku.
            “Hey?!”
            Dia lalu tersadar, “Kamu bisa fasih berbicara bahasa Indonesia?”
            “Iyadong. Eh ya, sekali lagi. Apa bli tau dimana mobil yang parkir disini?”
            Dia mengangguk cepat-cepat. “Ayo, aku anterin.”
            Aku kaget campur senang. Kaget karena, secepat itu dia mengerti maksudku dan senang juga bila ia benar-benar tau mobilku berada.
            Bli ini akhirnya mengajakku menaikki motor matic merahnya yang tak jauh dari sini. Ia memberikan helm padaku dan setelah itu aku naik dibelakang joknya. Motorpun mulai melaju dengan perlahan karena rupanya suasana Kuta sudah mulai ramai sekali dibanding tadi saat aku datang jam 3 sore. Disaat malam, memang daerah Kuta lah yang paling ramai, karena disini terdapat berbagai jenis café, bar dan restaurant yang isinya dominan turis asing.
            20 menit kemudian, setelah berkeliling sebentar, aku-dan bli ini- berhasil menemukan pak Candra yang ternyata sedang pulas tertidur dibalik jendela mobil. Aku segera mengetuk-ngetuk kaca. Setelah kuketuk beberapa kali, pak Candra berhasil kubangunkan. Kulihat semburat malu terlihat diwajahnya yang mendapatiku di sisi mobil dengan wajah keruh.
            Tadinya, aku akan segera menyerocos panjang lebar pada pak Candra. Baru aku ingat kemudian, bahwa masih ada bli muda yang dengan baik hati mencari mobilku ini disini. Tiba-tiba aku terkekeh pelan sendirian. Kukira, sejak awal dia memang tau dimana letak mobilku, ternyata dia menawariku tumpangannya untuk mencarinya. Tapi, beruntunglah, karena aku juga tak tau harus bagaimana kalau dia tidak ada.
            Aku mengulurkan tanganku di depannya,
            “Raiana dev,”  ucapku kemudian. Namun, yang terjadi dia hanya menatapku lama. Dia membiarkan tanganku menggantung diudara selama beberapa menit. Hingga lama-kelamaan, saat tanganku mulai terasa pegal. Aku segera berbalik dan segera masuk ke dalam mobil. Sebelumnya aku sempat setengah berteriak mengucapkan terima kasih. Dan setelah itulah, dia sadar dan meneriakkan sebuah nama yang baru di otakku.
            “Wira. Nama aku Wira, Rai!”
***
            Hari ini, adalah hari kedua di Bali. Aku masih mengingat kejadian kemarin dan juga masih mengingat ekspresi khawatir dari tante Ame. Berbeda dengan anaknya, Sarah yang katanya merasa tenang-tenang saja mengetahui aku yang pelupa ini belum juga ada di rumahnya. Justru ia khawatir pada mamanya karena mamanya itu terus saja mondar mandir kesana kemari dihadapannya. Tapi, dibalik sikap Sarah yang kalem, ia bisa sangat bersemangat bila membicarakan urusan cinta. Yah, namanya juga remaja.
            Sarah, dia adalah anak pertama tante Ame yang merupakan mahasiswa baru di Universitas Udayana. Sejak kecil kita memang sudah sangat akrab. Meskipun, kita jarang bertemu karena tempat kami yang terpisah oleh selat Bali.             Dengan umur yang hanya berbeda 1 tahun, kami mudah berbagi cerita apapun satu sama lain. Bisa menjadi kakak, adik ataupun teman.
            “Sarah, ajak aku ke mana kek! aku kesini kan mau liburan. Tapi, kalau sendiri kan ga asik juga.” Ujarku padanya sembari bertopang dagu diatas kasur.
            Sarah menengok kearahku. “Tapi, aku ada kuliah nih,”
            Hatiku mulai sedikit kecewa. Bibirku mengerucut, “Sampe jam berapa?”
            Ia menatapku kasihan. Buku-buku yang ia pegang sedari tadi ia letakkan. Sarah menghampiriku, lalu ia duduk ditepian kasur. “Jam 10 an kayaknya, tapi aku usahain deh.”
“Yaudah, nanti kamu nyusul ya ke pantai Balangan ya!” perintahku dengan semangat.
            “Iyadeh, asal nanti traktir makan siang aja yaa,”
            Aku mengacungkan jempolku atas-atas. Tak apalah uang tabunganku terkuras. Yang penting, aku dapat menikmati liburanku seindah mungkin.
***
            Sesudah bersiap-siap membawa tas dan alat-alat kebanggaanku –kosmetik- lainnya, aku segera meminta pak Candra ke pantai yang akan aku tuju. Namun, saat dijalan, perutku tiba-tiba berbunyi dengan sangat keras. Sampai kulihat pak Candra yang tertawa pelan didepanku.
            Maka dari itu, aku segera meminta pak Candra untuk mencari rumah makan dengan label halal terdekat. Agak lama memang. Mungkin, bisa hampir 2 jam mencari rumah makan untuk muslim disini. Beruntung pak Candra memang sudah tau betul tempat-tempat untuk orang sepertiku. Maka hanya dalam 1 jam aku mendapatkan rumah makan yang aku pinta. Lalu, aku segera melangkah keluar dan kini dihadapanku ada seseorang yang kukenali. Tanpa perintah langsung dari otakku, mulutku terbuka.
            “Hai, Wira!”
            Lelaki berkulit cokelat dan berwajah tirus itu menengok kesamping.
            “Hei, Raia?”
            Lalu aku mengajak dia untuk masuk ke dalam sana. Dan akhirnya terjadilah percakapan yang begitu menarik diantara kami berdua. Kini aku tau, bahwa Wira berumur 1 tahun lebih tua dariku, dan kini ia kuliah di tempat yang sama dengan Sarah, yaitu di Universitas Udayana. Bedanya, ia mengambil Teknik Informatika dan sekarang semester 6. Dia juga bilang bahwa ia sudah menjalani profesi tour guidenya ini sejak awal menjadi mahasiswa, katanya lumayan untuk menambah uang semester.
Diakhir obrolanku, setelah aku makan. Wira mengajakku ke pantai Balangan. Pantai yang memang menjadi tujuan pertamaku hari ini. Aku sempat menolak, dengan beralasan takut mengganggu dia yang sedang bekerja, namun rupanya ia tak pantang menyerah membujukku. Pada akhirnya, aku meminta pak Candra pulang yang artinya aku menyetujui ajakan Wira.
Aku tau, pantai ini diapit oleh dua pantai yang sama indahnya, yaitu Jimbaran dan Dreamland. Lokasi pantai ini, lumayan jauh dari tempat kami bertemu. Jalan raya ke lokasi, jaraknya lumayan jauh. Namun, semuanya terbayarkan dengan keindahan pantai yang tersedia. Hamparan pasir putih kecokelatan yang landai dan garis pantai yang cukup panjang. Membuat siapapun akan merasa takjub. Kulihat, disini hanya banyak turis asing dan juga peselancar yang tengah asyik bermain dengan ombak.
Disini, kami berjalan-jalan menyusuri pantai. Juga, bercerita satu sama lain. Entah mengapa, setiap dia mulai tersenyum atau tertawa, ada begitu banyak kupu-kupu yang menggelitik isi perutku. Pipiku kadang merah merona kala ia dengan jujur memuji diriku. Aku tak tau bagaimana dan kapan itu muncul. Aku hanya mengerti apa yang aku rasa saat ini. Yaitu, cinta.
***
            Malam itu, setelah menghabiskan hari di Pantai Balangan, Wira mengantarkanku pulang menuju rumah Tante Ame. Kami sampai sekitar setengah 7 dan waktu itu Sarah marah padaku karena ia tak mendapatiku di tempat yang sudah kami janjikan. Tapi, Sarah memang –agak- baik hati. Ia tak lantas berlama-lama bersikap dingin padaku, setelah aku membujuknya dan bercerita tentang Wira ia segera bersemangat mendengarkan ceritaku. Sarah memang yang paling tau soal percintaanku selama ini, ia rupanya mengendus sesuatu yang ganjil saat aku bercerita tentang Wira dengan senyum yang selalu terselip di akhir kalimatku.
            “Rai, kamu masih sama si Zolla kan?” tanyanya dengan tatapan serius.
            Aku sempat mencoba mengalihkan pandanganku. Namun rupanya Sarah segera mengikuti arah mataku tertuju. Akhirnya aku menjawab, “Iya, memangnya kenapa? Wira saja tak masalah dengan itu. Lagipula, aku tengah break dengan Zolla.”
            Sarah menatapku, “Kenapa lagi sih? Kamu belum cerita tentang ini padaku. Biasanya, ga telat. Lagian, emang pacaran itu ada istirahatnya ya? Bukannya maksud dari break itu.. putus?”
            Tubuhku mematung. Tiba-tiba bayangan Wira muncul sekelebat. Memberikan suatu pencerahan.
“Sarah, apa harus terus semua hal yang bisa kuanggap ini aib hubunganku, sesuatu yang tak ingin lagi aku ceritakan pada semua orang harus aku ceritakan. Ini juga bukan saja salah Zolla, ini karena aku yang terlalu sering ingin dimengerti.”
            Mata Sarah mengerjap sedemikian kali. “Waah! Kamu udah sadar ya Rai?”
            Rupanya, ia terkagum-kagum pada kata-kata yang aku ucapkan. Padahal ucapanku tadi, sepenuhnya adalah copyan dari nasehat Wira. Entah kenapa, setiap kata dari Wira pasti aku selalu ingat. Beda dengan nasehat-nasehat dari Ayah atau Ibu yang memang langsung terhapus dari memoriku.
Kembali lagi aku mengingat Wira yang bahkan, setelah ia tau bahwa aku sudah punya pacar, ia masih saja mau menghiburku dan mendengarkan segala keluh kesalku tentang Zolla. Tapi, pada akhirnya, aku jugalah yang merasa malu, karena dia berhasil membuat aku mengakui bahwa aku ini memang bawel, terlalu ingin dimanja saat Zolla sedang sibuk. Wira membuka hatiku dan menuntunku sehingga akupun bisa ikut masuk bersama. Menyelami makna sebuah hubungan yang semestinya.
Aku jadi teringat lagi, percakapanku kemarin saat aku mengajaknya ke Pantai Padang-Padang. Ia duduk disebelahku sambil memegang kedua lututnya dan memandang ke depan. Kala itu, senja tengah menjadi latar kami.
“Jadi, apa kamu sudah punya pacar?” tanya Wira tiba-tiba.
            Aku tersenyum kecil. “Kalau sudah, gimana?”
            “Ya tak mengapa. Aku masih aku, kamu masih kamu.”
            Liburan ini cukup menghibur dikala aku dan pacarku tengah break. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata, disini aku dapat merasakan sesuatu juga yang membuat aku nyaman dan aman. Aku tau, tak pernah aku berpikir untuk menjalin sesuatu yang lebih dengannya. Kami memendam semua rasa diantara kesadaran akan perbedaan yang begitu tegak menjulang. Sebuah agama yang tak mungkin kami ingkari masing-masingnya. Juga, sesuatu hal yang tak bisa aku lepas yaitu Zolla. Cinta,  hanya sebuah rasa yang tercipta diantara kedekatan, kesepian dan sebuah kenyamanan. Cinta, tak harus memiliki bukan?
Aku dan dia sama sebenarnya, tak saling menuntut apa-apa. Aku atau dia bagaikan iklan yang hanya hadir dalam beberapa detik saja dalam televisi kehidupan masing-masing. Tapi, aku berharap, hubungan pertemanan kami tak sampai disini. Tak terasa esok hari, aku harus kembali ke Surabaya. Ia bilang padaku, kalau aku sedang di Bali, aku harus memberitahu Wira.
***
            Malam ini, ia berencana membawaku ke Pantai Jimbaran.     Ada sebuah petromak dengan ukuran sedang yang ia bawa di bawah motornya. Aku berpikir, apa yang akan dilakukannya kali ini. Tapi, aku tau ia takkan pernah mencoba macam-macam padaku. Buktinya, ia tak pernah berani menggandeng tanganku. Saat ia tak sengaja menyentuh lenganku, ia lantas meminta maaf setelahnya.
            Motor kami berhenti disebuah tepian jalan. Didekat sini memang banyak restoran-restoran seafood khas pantai Jimbaran. Aku masih menunggunya ketika ia akhirnya berhasil menyalakan petromaknya itu.
            “Ayo!” ajaknya kemudian.
            Aku sontak kaget, namun segera kuhilangkan pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba muncul.
            Angin malam memang menyegarkan, namun angin malam di pantai sungguh membuat terasa ngilu. Rasanya angin itu masuk dan menusuk kedalam tulang rusukku. Beberapa kali aku merutuki diri yang so jagoan tidak memakai jaket. Kaos lengan panjangku rupanya tak mampu menahan angin. Beruntung kaki panjangku tertutup rok panjang yang cukup menghangatkanku. Dia melirik kearahku lalu menatapku,
            “Dingin, ya?” tanyanya.
            Aku mengangguk pelan. Lalu adegan selanjutnya ia melepaskan jaket tebalnya itu. Aku khawatir ketika beberapa menit kemudian ia terlihat bergidik, mungkin menggigil. Seolah dapat membaca pikiranku, ia berucap.
            “Aku udah biasa ko dingin-dinginan,”
            Aku hanya tertawa kecil dalam hati. Kemudian, kami duduk di sisi pantai. Kini kami saling diam sehingga yang terdengar hanya suara-suara dari kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Juga suara deburan ombak yang ada dihadapan kami. Tak enak dengan suasana seperti ini, aku mencoba membuka mulut lebih awal.
            “Ga kerasa, ini hari terakhir aku disini—”
Namun, belum aku melanjutkan kalimatku, ia berdehem dengan sangat keras sehingga  membuatku kaget.
            “Jadi, kamu gabakal kesini-sini lagi gitu?” tanya Wira tanpa menatapku.
            “Ah ya, salah. Maksud aku, ini hari terakhir aku liburan disini. Hari terakhir aku ketemu ka—”
            Dia berdehem lagi. Kini, aku menatapnya menunggu pertanyaan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya.
            “Jadi, kamu gabakal mau ketemu sama aku?”
            Aku tertawa geli. Belum sempat aku menjawab, dering dari ponselku berbunyi. Segera aku meraih iphone yang berada dalam tasku. Kubaca tulisan yang berada dilayar ponsel. Aku menghela napas dalam-dalam.
            Cukup lama, aku menerima telpon. Agak tak enak juga kala suaraku yang meninggi didengar juga dilihat oleh Wira yang tepat berada di sampingku. Telpon ini tak lain dari Zolla. Saat ini, diwaktu yang tidak pas ini, aku bertengkar dengannya dari telpon di depan Wira. Rupanya, ia telah menelponku beberapa kali juga sms sedari siang. Dan aku, lupa membalas salah satu dari pesan singkatnya itu. Dia bilang ia khawatir, takut, dan hal-hal yang kupikir lebay untuk seorang lelaki.
            Setelah kututup telpon dari Zolla, aku segera bercerita pada Wira. Namun, lagi-lagi ia membuatku menyesali sikapku tadi pada Zolla. Benar, Wira bilang perempuan itu katanya ingin dimanja, dimengerti, diperhatikan tapi saat mereka mendapatkan itu semua bahkan lebih, apa yang ia dapat kemudian? Tak lain hanya ungkapan kesal karena terlalu protect lah, dsb. Tak hentinya rasa kagumku itu surut. Aku semakin malas saja untuk pulang ke Surabaya. Namun, apadaya, malam ini adalah malam terakhir aku disini. Lebih baik, aku menggunakannya sebaik mungkin, sehingga yang kubawa esok hari adalah kenangan indah.
***
            Esok harinya, aku segera pulang ke Surabaya.  Dan di Surabaya aku diteror banyak pertanyaan oleh pacarku, tapi aku sudah merasa malas dengan dia. Rasanya aku sudah merasakan banyak perbedaan dengan Zolla. Aku dan Zolla berbeda 4 tahun. Ia telah 2 tahun menjadi anak buah Ayah yang memang sangat dipercaya di perusahaan. Zolla begitu mencintai Bola, sedangkan aku tidak. Aku begitu mencintai fashion sementara ia tidak. Ia selalu berkata formal sementara aku tidak. Ah, bukankah sudah sejak awal kami berbeda?
            Hingga akhirnya, siang ini kami segera bertemu di sebuah mal.
“Aku sudah tidak nyaman, Rai. Sebaiknya, kita putus saja.” Ujarnya tiba-tiba.
            Aku tertohok, dan tanpa permisi aku segera pergi dari situ juga tanpa berkata sepatah katapun, kecuali mengumpat keras-keras dalam hati.
            Setelah itu, aku segera menceritakan pertengkaranku pada Wira lagi. Dia memberiku beberapa saran. Dia memang benar, dikala kita mencintai seseorang, pasti kita berpikir atau tepatnya membandingkan sesuatu yang awalnya beda, pada akhirnya menjadi sama. Dan dikala cinta itu semakin lama, kala rasa itu semakin memudar. Kita semakin tau bahwa banyak sekali perbedaan didalam hubungan yang telah dijalaninya. Demikian itulah cinta. Wira bilang, ujian sebuah hubungan berada di ditengah. Bagaimana kita tetap mempersatukan perbedaan yang sudah kita toleransi pada awal, saat kita sudah yakin menetapkan sebuah hubungan. Mengalah itu, adalah sebuah keikhlasan yang menyenangkan jika kamu ingin melihat seseorang yang kamu sayangi bahagia.
            Andai Wira itu adalah—
            Ah, Ya Allah, aku bingung.
***
Aku menunggu di sebuah stasiun. Tak ada dia yang kutunggu. Sampai senja terlihat oleh kedua mataku pun tidak. Namun, tatkala aku membalikan badan. Aku tersontak kaget. Dia sudah mematung disana. Beberapa senti didepanku. Kulihat, pelipisnya berdarah. Tapi, kami malah mengobrol dengan asyiknya. Dan seolah-olah darah yang menetes di pelipisnya itu tak akan berakibat apa-apa untuknya. Ia masih bisa tersenyum dengan manis.
            Wira menggenggam tangganku erat. Tak seperti biasanya ia berani seperti ini. Kini, justru aku menikmatinya. Lalu, aku memejamkan mata. Dan,  sesuatu yang kugenggam itu terasa hilang dan lenyap. Kubuka mata cepat-cepat dan dia sudah pergi. Aku berteriak kencang saat melihatnya yang masih tak jauh dari sini, akan tetapi suaraku lambat laun hilang. Sampai rasanya, leherku terasa sakit.
            Mataku terbuka. Aku terbangun dengan perasaanku yang tak karuan juga dalam keadaan keringat dingin yang membasahi tubuku yang diselimuti badcover. Ini memang, bukan 1 atau 2 kali aku memimpikan Wira. Kini, setelah 5 bulan aku meninggalkan Bali. Bayang Wira selalu hadir, namun kali ini berbeda. Karena, ini membuatku ketakutan dengan hati yang sudah tak menentu.
Dan ternyata, esok harinya aku dikabari bahwa dia. Wira, meninggal dunia.
                                                            ***
            7 tahun kemudian.
Begitu banyak  orang disini,  aku tentu berada diantara keluarga Wira. Kali ini, ada sekitar 3 orang yang akan di ngaben. Semuanya berasal dari satu keluarga besar Wira. Setelah diarak, acara ngaben pun dimulai. Asap tebal mengepul ditempat itu, lalu suara retakan kayu dan bara-bara api menyembul keatas, menggemeletuk. Membuat aku merasa ngilu. Sudah pasti aku menangis, tak rela tubuhnya harus dibakar begitu saja. Namun, segera aku dibawa pergi oleh Sarah. Ia menjelaskan padaku, bahwa tak seharusnya aku menangisinya, karena itu tidak akan baik untuk Wira. Begitupun untuk Zolla yang kini sudah menjadi suamiku.
            Setelah acara penaburan abu selesai. Aku segera kembali ke Surabaya dengan membawa sebuah kenangan yang membuatku pilu. Aku ingat obrolanku dirumah Wira bersama Ibunya tadi siang. Bahwa dulu, Wira menitipkan sebuah kotak yang bentuknya sama seperti kotak yang ada di dalam mimpiku sebelum aku mendapati Wira meninggal. Tanganku begitu gemetar saat itu ketika mulai membaca secarik surat yang berada di dalamnya.
            “Aku bersedia jadi mualaf jika itu akan menyatukan kita. Raiana dev, menikahlah denganku..”                      
                                               
   Terima kasih telah membaca cerpen saya,

    Jangan copas, atau berani ngejiplak hasil pemikiran orang lain. Keep writing, J

2 komentar:

howhaw mengatakan...

:( aaakkk... nge-nyes ceritanya. tempat kenangan, kotak kenangan, dan orang yg hanya tinggal kenangan.

Syifa Ghifary mengatakan...

Akhirnya ada yang baca lagiiii :'') terharu maksimaal