(karya asli: Syifa Syafira Alghifari)
Aku
hanya bisa memandang fotomu. Disini, disetiap malam ku. Aku tak tahu kenapa
rasa ini masih terlalu kuat untukku bertahan diantara jarak. Kamu dan aku, kita
sudah berbeda tempat. Keberadaanmu kini melewati berbagai provinsi di tempatku
diam. Melihat foto kita seakan memutar kembali memori, memori yang amat
kurindukan.
ilustration by SCA SMANSA |
Dering
dari Gemini berhasil merubah raut mukaku. Segera kuraih benda itu dengan cepat.
Kulihat layarnya dan disana tertera sebuah nama yang setiap detik ku rindukan.
Tomi.
“Halo?”
kataku dengan suara parau.
“Halo,
Yang. Umm, maaf agak telat, lagi
ngerjain tugas tadi,” jelas orang diseberang.
Aku menatap buku yang
berserakan diatas kasur. Itu semua tugas yang belum juga aku kerjakan dari
tadi. Aku terlalu merindukan Tomi, sampai-sampai kurasa malas untuk mengerjakan
atau sekadar membuka halaman pada buku tugas.
“Udah
dong, kamunya sih?” tanya Tomi balik.
“Aku…
udah juga,” kupegang perutku, aku bisa merasakan lambungku yang kini seakan
menjerit meminta bahan untuk dicerna.
Kalau saja, Tomi masih disini. Dia pasti tahu aku sedang berbohong.
“Kamu,
abis nangis? Suaranya ko serak gimana gitu, atau lagi sakit?” tanyanya dengan
nada khawatir. Aku tersenyum senang. Ternyata suaraku tak bisa membohongi dia,
aku memang sempat menangis saat melihat foto kami.
“Calista?
Yaaang?” teriaknya. Aku hanya tertawa
geli,
“Ih
malah ketawa,” katanya kemudian dengan nada kesal.
“Aku
abis liatin foto kita, aku kangen tauuu,” kataku dengan nada manja. “Kamu ga
kangen ya sama aku?”
“Kangeen,
bangetan malah. Aku kangen ngebelai rambut panjang item kamu, nyubit pipi yang
cubi itu, kangen liat mata cokelat kamu yang kalo diliatin ternyata keliatannya
item,” serunya panjang lebar.
Aku melirik sebentar
kearah cermin yang berada di sebelah kanan dinding. Kubelai sebentar rambut
hitamku dengan jari. Rambut ini sudah 1 bulan yang lalu aku potong pendek, dan
Aku belum memberitahunya pada Tomi. “Yaudah, Kamu kapan pulang sih?” tanyaku
dengan nada agak tinggi.
Pertanyaan yang sering
kuajukan padanya. Dan, jawabannya tentu aku sudah tau.
“Iya, nunggu libur.
Bentar lagi ini kan,” ucapnya simpel.
Aku
hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengerti dan menahan rasa
emosiku. Hubungan Long Distance Relationship atau LDR ini sudah aku dan Tomi
jalani selama 1 tahun. Tomi pindah sewaktu ia dan aku kelas 2 SMA. Ia pindah ke
kota Yogyakarta. Dan dia, meninggalkan aku disini, di sebuah kota di Sumatera
Utara, bernama Medan.
Alasannya
sederhana, katanya biar dia gampang ngelanjutin kuliahnya juga di Yogya. Dan,
itu artinya dia bakal tetap disana selama beberapa tahun lagi. Sedangkan aku,
aku hanya akan melanjutkan kuliahku disini. Ibu tak memperbolehkanku untuk
kuliah di pulau Jawa. Itu akan membuat banyak pengeluaran. Dan, akupun mengerti,
karena melihat kondisi Ibu dan Bapak yang memang pas-pasan. Pas butuh pas ada.
Tak seperti Tomi, Bapaknya seorang pengusaha rumah makan yang cukup terkenal di
Medan.
Awal
aku diberi tahu oleh Tomi mengenai kepindahannya, aku merasa jauh. Melihat peta
di atlas dan kita bukan jauh sebatas kota di satu pulau. Tetapi, kita sudah
beda pulau. Aku sempat meragu dan ingin berhenti saat aku dan Tomi sudah
menginjak bulan ke 8, hubungan LDR. Tapi, Tomi selalu membuatku percaya lagi.
Percaya cintanya lagi, walaupun aku sempat mendengar suara aneh diseberang yang
membuat hatiku panas.
“Oh,
iyaudah. Nanti, kamu harus bilang ya kalo pulang” jawabku dengan menekankan
kata –harus-.
“Siap,
Sayaang.” Sahutnya.
Hanya
satu kalimat yang aku pegang dalam hubungan ini. “Kesetiaan yang tulus dan
percaya satu sama lain.” Hanya itu.
͚
Tadi
siang, jarang-jarang dia menelpon. Rupanya dia memberikan kabar baik untukku
dan kurasa untuknya juga. Dia akan pulang seminggu lagi. Aku sampai-sampai tak
percaya, aku terus menerus bertanya padanya dan kurasa ia senang mendengar
keantusiasanku.
Tapi,
kegembiraanku agak berkurang. Saat kudengar suara perempuan itu lagi diseberang
sana. Aku sudah tau, dia bernama Larasati. Kata Tomi, dia teman yang baik
selama di Yogya. Kurasa, teman yang baik menurutku harusnya lelaki –tentu,
untuknya-, tetapi kenapa ia memilih Larasati yang memang dia perempuan? Bukan
maksudku melarang. Tapi, sudah ada jarak yang membuatku sering tak percaya
padanya. Lantas, apa harus ditambah lagi
dengan teman wanita?
͚
Awal aku tahu dia memiliki teman
perempuan memang kaget dan di Bulan ke 8- Hubungan LDR- kami sempat bertengkar.
“Halo,
Calista sayaaang,”
“Ih,
lebay, hihi. Halo juga, Sayang.” Jawabku manja.
‘ciyeee, yang lagi telponan. Uuh, cemburu nih’
Aku
terdiam sejenak. Siapa suara itu? Itu terdengar seperti suara perempuan. Tapi,
mungkinkah?
“Ssst,
diem. Eh, Yang, jangan dengerin yang
tadi cuma makhluk gaib.” katanya sembari tertawa.
Aku
hanya menanggapinya dengan tertawa garing. Tak ingin rasa negative ini semakin
menguasai hati juga otak, aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“Euh,
itu yang tadi, siapa? Cewek baru, ya?” godaku dengan cemburu.
“Idih,
gamau deh punya cewek kaya dia, bagusan juga kamu Yang,”
‘maksud? Tak plinter-plinter loh badanmu, Tom.’
Logat jawanya terdengar kental walau agak samar.
“Tomi,
kamu punya temen cewek?” kini suaraku berubah serius.
“Cuma
temen ko, selow mbak selow,” ucapnya sembari mencoba mengajakku bercanda.
Menurutku, ini sama sekali enggak lucu.
“Aku
serius Tomi!” kataku setengah berteriak, dan tanganku yang satu mengepal.
“Aku
juga serius Calista. Nah, kamu kenapa? Cembu-”
Segera
kututup telpon dari Tomi. Ya, aku cemburu Tomi. Hal yang paling aku takutkan
adalah ini, dia dekat dengan perempuan dan aku takut. Takut hal selanjutnya
yang aku tak inginkan akan terjadi.
͚
Seminggu
lagi, Tomi bilang dia akan pulang seminggu lagi. Aku sudah mencoret kalender
tanggal kepulangan Tomi dengan spidol merah. Senyumku mengembang hari-hari ini.
“Tak kurasa, ternyata hari ini tiba,” gumamku.
Selama ini, tak pernah
aku duga juga bahwa hubungan jarak jauhku akan sampai pada 1 tahun. Padahal
disetiap malam, aku selalu berpikir dan bersangka yang, yah, kurasa wajar bagi
seorang wanita yang ditinggal jauh. Aku sering merasa, kalau kamu sudah terasa semu. Pelukanmu kini tak bisa
kurasa lagi. Semua hanya sebatas karakter di sebuah sms. Tak ada lagi yang
kurasa nyata darimu. Suaramu pun, itu
tak ku anggap nyata. Tapi, mengapa aku menyukai kesemuan ini, Tomi?
Sinar
kuning dari ufuk barat mulai menelusup melewati celah-celah pepohonan. Kutatap permukaan
air danau yang tenang. Aku mulai kesal. Sudah dari sepulang sekolah aku
menunggu Tomi didanau. Tapi, masih juga tak muncul bahkan sekadar tanda-tanda
dia akan telat atau info semacamnya. Sama sekali tak ada. Ini membuat hatiku
menciut.
Kusandarkan
kepalaku dikursi. Lalu aku merogoh si Gemini di saku rok. Aku menatap layar
dengan lesu. Tak ada. Kurasa ia, tak bersungguh-sungguh untuk menemuiku.
Kurasa, dia.. dia sedang bersama gadis bernama Larasati itu.
Ah,
aku sudah tak peduli. Aku sudah lelah menantinya, lantas aku pun segera kembali
kerumah. Karena kupikir, Ibu pun akan marah jika aku pulang terlalu sore.
Namun, langkahku
terhenti ketika dering Gemini memaksaku untuk mengangkat telponnya. Kulihat
layar dengan seksama, Tomi. Ingin sekali kubantingkan BB ku itu. Tapi, niat itu
segera kuurungkan. Mengingat mendapatkan BB dari kuis itu susah sekali.
“Halo?”
jawabku dengan nada jutek.
“Halo,
Calista? Kamu pasti kesel ya nunggu aku? maafin aku ya sayang.. Aku-“ belum
sempat ia memberi alasannya. Aku segera memotong kalimatnya.
“Kamu
dimana?” kataku dengan sinis. Kini tanganku yang satu mulai mengepal lagi.
“Aku
masih di Yogya, aku lagi sama Larasati. Maaf, Yang, ini ada masalah sam-”
“Kamu
tau, aku nunggu kamu dari panas matahari nyengat kulit aku, dan kamu gak ngasih
tau masalah kamu itu. Dan, Oh, lagi sama Larasati? Aku kecewa banget sama kamu,
Tom. “ ucapku dengan nada ketus dan dingin.
“Cal,
aku ket-.”
Kuputuskan
hubungan telpon itu. Penglihatanku pun mulai memburam. Aku kecewa dan amat
kesal. Lalu, air ini pun keluar dari pelupuk mata dengan deras. Hatiku, aku
sudah tak tau rasa apa ini. Yang pasti, aku kecewa dan aku, membencinya.
͚
Keesokan harinya. Aku
menyingkap tirai dengan lesu. Sinar matahari pun mulai berebut masuk melalui
jendela. Kulihat Ibuku yang lari dari kejauhan dan kini ia langsung masuk ke
kamarku.
Pagi ini, aku
dikagetkan oleh berita yang mengguncang hatiku. Ibu bilang, Tomi sudah pulang
ke Medan. Tapi, ia..
“Tomiiiii,”
jeritku setelah aku berlari dari rumah, yang tanpa kusadari aku berlari dengan
bertelanjang kaki.
Tangis
ini benar-benar tumpah, saat aku tau kini ia hanya sebuah jasad. Aku mengguncangkan badannya. “Bukaaa, buka mata
kamu, Tomi! Kamu belom boleh pergi,” kataku.
Ibu
dari Tomi pun menenangkan aku dan membawaku agak mundur dari Tomi. Ia bilang
padaku, bahwa Tomi kecelakaan sewaktu malam. Sewaktu ia pulang bersama Om Hasan
–pamannya- motor yang dikendarai oleh mereka oleng dan menabrak truk yang ada didepan
mereka. Beruntung Om Hasan tidak terlindas, namun, Tomilah yang-. Ah, aku tak
bisa melanjutkan apa yang kudengar dari Ibu Tomi. Pilu rasanya, kenapa ia bertemu denganku tanpa
bisa berkata? Tanpa bisa mengucap kata rindu lagi?
Tiba-tiba, datang
seorang gadis. Dia berkerudung merah dan diwajahnya terdapat tahi lalat dekat
dagu. Gadis itu menghampiriku lalu mengajakku ke belakang, ke arah dapur. Lalu
aku berjalan mengekor dibelakangnya.
Setelah
kami duduk, dia mengulurkan tangannya sembari tersenyum, “Aku Larasati, apa
kamu yang namanya Calista?”
Aku
menjawabnya dengan mengangguk. Dari awal ia mengajakku aku sudah tau, dan merasa bahwa ia perempuan berlogat jawa itu.
Kulirik sebentar perempuan bernama Larasati ini. Rupanya dia, dia yang selama
ini dekat dengan Tomi di Yogya. Kurasa, ia mengerti tatapanku karena ia
langsung berbicara to the point.
“Aku
memang dekat dan..” kalimatnya menggantung, ini membuatku penasaran, lalu
kutatap ia balik. Perempuan bernama Larasati itu pun menunduk, “..dan aku suka
sama Tomi.”
Spontan, isi hati inipun
langsung bergemuruh. Aku menelan ludah. Kini aku mencoba bicara, “Lalu?”
“Tapi, dia. Dia sangat
menyayangi Calista nya. Menyayangi kamu.” Ucapnya datar.
Menyayangi
aku?
“Tomi. Dia, selalu
nyeritain kamu, hal-hal yang sering kamu sama dia lakuin waktu di SMA sini.
Dia, selalu bilang ‘Aku kangen banget sama Calista, aku harap aku bisa
cepet-cepet ketemu dia. Kamu tau, pipi cubinya bikin kangen’…”
Aku mencoba menahan air
mataku untuk tidak tumpah lagi. Rasanya, dadaku mulai sesak.
“Aku selalu iri sama
orang yang disebutin Tomi. Ternyata, walaupun kalian LDR, kalian bisa bertahan
selama setahun lebih. Hebat.” Ucapnya sembari tersenyum simpul.
Aku masih diam, dan air
mata inipun akhirnya mengalir lagi.
“Oh iya, waktu kamu
ditelpon Tomi sore-sore itu, aku sebenernya ada disitu nganter Tomi ke Bandara.
Maaf ngebuat kamu cemburu dan marah sama Tomi. Tapi, beneran ko dia waktu itu
mau pulang, cuma ya, hal-hal kecil bisa aja kan terjadi tanpa semau kita?”
“Maaf,” kataku dengan
nada bergetar.
“Kemarin itu, dia lupa
ngasih tau jadwal penerbangannya ditunda, bahkan sampe 2 kali.” Larasati
merangkulku, “Akhirnya pas malem, dia baru bisa berangkat.”
Aku menutup mukaku
dengan telapak tangan. Malu pada sifatku yang kekanak-kanakan. Harusnya aku
bisa mencoba untuk mendengar penjelasannya dan ah, apa bisa waktu kupinjam
untuk kuulang lagi?
͚
Setelah pemakaman Tomi
selesai. Akupun berjalan kembali menuju Danau. Aku duduk lalu menatap lagi
permukaannya yang tenang. Ku ambil Gemini dari saku rok hitam panjang ini.
Lalu, kubuka inbox, dan membaca kembali sms terakhir –yang baru aku ketahui- dari
Tomi.
04.54 pm.
Calista,
sayang. Maaf, aku agak telat. Soalnya pesawatnya ditunda mulu daritadi. Oh iya,
aku paling nyampe besok. Gpp, kan?
01.32 am.
Yaang,
aku udah ada di Polonia nih, bentar lagi dijemput Om Hasan. Kamu pasti udah
tidur, ya? Haha pasti. Yaudah, sampe ketemu besok Calistaku.
Tanpa terasa, buliran air mulai mengalir dari
pelupuk mata.
Kini,
kamu telah semu..
Bukan
hanya jarak yang memisahkan kita,
Dunia
pun berhasil memisahkan raga kita.
Kini,
kamu benar-benar semu
Lebih
dari itu.. Aku,
Takkan
bisa membuatmu nyata lagi.
Aku memejamkan mataku.
Tanganku mengepal lalu kuhantamkan pada kursi. Sakit ini tak sebanding dengan
sakit ditinggal pergi oleh Tomi. Tomi yang sebenarnya selalu menyebutku di
tempatnya berpijak. Tomi yang sebenarnya selalu menyanjung cinta nya,
tepatnya, cinta kita.
Angin senja bertiup
pelan melewatiku. Entah mengapa, hembusan angin tadi seperti memeluk ku. Lembut
dan membuat hatiku tenang. Kurasa, hembusan angin itu, Tomi.
1 komentar:
bagus de :)
kata2 nya keren.
Posting Komentar