Rabu, 15 Agustus 2012

Kamu, yang semu

(karya asli: Syifa Syafira Alghifari)
ilustration by SCA SMANSA
            Aku hanya bisa memandang fotomu. Disini, disetiap malam ku. Aku tak tahu kenapa rasa ini masih terlalu kuat untukku bertahan diantara jarak. Kamu dan aku, kita sudah berbeda tempat. Keberadaanmu kini melewati berbagai provinsi di tempatku diam. Melihat foto kita seakan memutar kembali memori, memori yang amat kurindukan.
            Dering dari Gemini berhasil merubah raut mukaku. Segera kuraih benda itu dengan cepat. Kulihat layarnya dan disana tertera sebuah nama yang setiap detik ku rindukan. Tomi.
            “Halo?” kataku dengan suara parau.
            “Halo, Yang. Umm, maaf agak telat, lagi ngerjain tugas tadi,” jelas orang diseberang.
Aku menatap buku yang berserakan diatas kasur. Itu semua tugas yang belum juga aku kerjakan dari tadi. Aku terlalu merindukan Tomi, sampai-sampai kurasa malas untuk mengerjakan atau sekadar membuka halaman pada buku tugas.
           
            “Oh, iya gapapa ko. Kamu, udah makan?”
            “Udah dong, kamunya sih?” tanya Tomi balik.
       “Aku… udah juga,” kupegang perutku, aku bisa merasakan lambungku yang kini seakan menjerit  meminta bahan untuk dicerna. Kalau saja, Tomi masih disini. Dia pasti tahu aku sedang berbohong.
            “Kamu, abis nangis? Suaranya ko serak gimana gitu, atau lagi sakit?” tanyanya dengan nada khawatir. Aku tersenyum senang. Ternyata suaraku tak bisa membohongi dia, aku memang sempat menangis saat melihat foto kami.
            “Calista? Yaaang?” teriaknya. Aku hanya tertawa geli,
            “Ih malah ketawa,” katanya kemudian dengan nada kesal.
           “Aku abis liatin foto kita, aku kangen tauuu,” kataku dengan nada manja. “Kamu ga kangen ya sama aku?”
           “Kangeen, bangetan malah. Aku kangen ngebelai rambut panjang item kamu, nyubit pipi yang cubi itu, kangen liat mata cokelat kamu yang kalo diliatin ternyata keliatannya item,” serunya panjang lebar.
Aku melirik sebentar kearah cermin yang berada di sebelah kanan dinding. Kubelai sebentar rambut hitamku dengan jari. Rambut ini sudah 1 bulan yang lalu aku potong pendek, dan Aku belum memberitahunya pada Tomi. “Yaudah, Kamu kapan pulang sih?” tanyaku dengan nada agak tinggi.
Pertanyaan yang sering kuajukan padanya. Dan, jawabannya tentu aku sudah tau.
“Iya, nunggu libur. Bentar lagi ini kan,” ucapnya simpel.
            Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengerti dan menahan rasa emosiku. Hubungan Long Distance Relationship atau LDR ini sudah aku dan Tomi jalani selama 1 tahun. Tomi pindah sewaktu ia dan aku kelas 2 SMA. Ia pindah ke kota Yogyakarta. Dan dia, meninggalkan aku disini, di sebuah kota di Sumatera Utara, bernama Medan.
            Alasannya sederhana, katanya biar dia gampang ngelanjutin kuliahnya juga di Yogya. Dan, itu artinya dia bakal tetap disana selama beberapa tahun lagi. Sedangkan aku, aku hanya akan melanjutkan kuliahku disini. Ibu tak memperbolehkanku untuk kuliah di pulau Jawa. Itu akan membuat banyak pengeluaran. Dan, akupun mengerti, karena melihat kondisi Ibu dan Bapak yang memang pas-pasan. Pas butuh pas ada. Tak seperti Tomi, Bapaknya seorang pengusaha rumah makan yang cukup terkenal di Medan.
            Awal aku diberi tahu oleh Tomi mengenai kepindahannya, aku merasa jauh. Melihat peta di atlas dan kita bukan jauh sebatas kota di satu pulau. Tetapi, kita sudah beda pulau. Aku sempat meragu dan ingin berhenti saat aku dan Tomi sudah menginjak bulan ke 8, hubungan LDR. Tapi, Tomi selalu membuatku percaya lagi. Percaya cintanya lagi, walaupun aku sempat mendengar suara aneh diseberang yang membuat hatiku panas.
            “Oh, iyaudah. Nanti, kamu harus bilang ya kalo pulang” jawabku dengan menekankan kata –harus-.
            “Siap, Sayaang.” Sahutnya.
            Hanya satu kalimat yang aku pegang dalam hubungan ini. “Kesetiaan yang tulus dan percaya satu sama lain.” Hanya itu.
͚
            Tadi siang, jarang-jarang dia menelpon. Rupanya dia memberikan kabar baik untukku dan kurasa untuknya juga. Dia akan pulang seminggu lagi. Aku sampai-sampai tak percaya, aku terus menerus bertanya padanya dan kurasa ia senang mendengar keantusiasanku.
            Tapi, kegembiraanku agak berkurang. Saat kudengar suara perempuan itu lagi diseberang sana. Aku sudah tau, dia bernama Larasati. Kata Tomi, dia teman yang baik selama di Yogya. Kurasa, teman yang baik menurutku harusnya lelaki –tentu, untuknya-, tetapi kenapa ia memilih Larasati yang memang dia perempuan? Bukan maksudku melarang. Tapi, sudah ada jarak yang membuatku sering tak percaya padanya. Lantas,  apa harus ditambah lagi dengan teman wanita?
͚
Awal aku tahu dia memiliki teman perempuan memang kaget dan di Bulan ke 8- Hubungan LDR- kami sempat bertengkar.
            “Halo, Calista sayaaang,”
            “Ih, lebay, hihi. Halo juga, Sayang.” Jawabku manja.
            ‘ciyeee, yang lagi telponan. Uuh, cemburu nih’
            Aku terdiam sejenak. Siapa suara itu? Itu terdengar seperti suara perempuan. Tapi, mungkinkah?
            “Ssst, diem. Eh, Yang, jangan dengerin yang tadi cuma makhluk gaib.” katanya sembari tertawa.
            Aku hanya menanggapinya dengan tertawa garing. Tak ingin rasa negative ini semakin menguasai hati juga otak, aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.
            “Euh, itu yang tadi, siapa? Cewek baru, ya?” godaku dengan cemburu.
            “Idih, gamau deh punya cewek kaya dia, bagusan juga kamu Yang,”
            ‘maksud? Tak plinter-plinter loh badanmu, Tom.’ Logat jawanya terdengar kental walau agak samar.
            “Tomi, kamu punya temen cewek?” kini suaraku berubah serius.
       “Cuma temen ko, selow mbak selow,” ucapnya sembari mencoba mengajakku bercanda. Menurutku, ini sama sekali enggak lucu.
            “Aku serius Tomi!” kataku setengah berteriak, dan tanganku yang satu mengepal.
            “Aku juga serius Calista. Nah, kamu kenapa? Cembu-”
            Segera kututup telpon dari Tomi. Ya, aku cemburu Tomi. Hal yang paling aku takutkan adalah ini, dia dekat dengan perempuan dan aku takut. Takut hal selanjutnya yang aku tak inginkan akan terjadi.
͚

            Seminggu lagi, Tomi bilang dia akan pulang seminggu lagi. Aku sudah mencoret kalender tanggal kepulangan Tomi dengan spidol merah. Senyumku mengembang hari-hari ini. “Tak kurasa, ternyata hari ini tiba,” gumamku.

Selama ini, tak pernah aku duga juga bahwa hubungan jarak jauhku akan sampai pada 1 tahun. Padahal disetiap malam, aku selalu berpikir dan bersangka yang, yah, kurasa wajar bagi seorang wanita yang ditinggal jauh. Aku sering merasa, kalau kamu  sudah terasa semu. Pelukanmu kini tak bisa kurasa lagi. Semua hanya sebatas karakter di sebuah sms. Tak ada lagi yang kurasa nyata darimu. Suaramu pun,  itu tak ku anggap nyata. Tapi, mengapa aku menyukai kesemuan ini, Tomi?

            Sinar kuning dari ufuk barat mulai menelusup melewati celah-celah pepohonan. Kutatap permukaan air danau yang tenang. Aku mulai kesal. Sudah dari sepulang sekolah aku menunggu Tomi didanau. Tapi, masih juga tak muncul bahkan sekadar tanda-tanda dia akan telat atau info semacamnya. Sama sekali tak ada. Ini membuat hatiku menciut.
            Kusandarkan kepalaku dikursi. Lalu aku merogoh si Gemini di saku rok. Aku menatap layar dengan lesu. Tak ada. Kurasa ia, tak bersungguh-sungguh untuk menemuiku. Kurasa, dia.. dia sedang bersama gadis bernama Larasati itu.
            Ah, aku sudah tak peduli. Aku sudah lelah menantinya, lantas aku pun segera kembali kerumah. Karena kupikir, Ibu pun akan marah jika aku pulang terlalu sore.
Namun, langkahku terhenti ketika dering Gemini memaksaku untuk mengangkat telponnya. Kulihat layar dengan seksama, Tomi. Ingin sekali kubantingkan BB ku itu. Tapi, niat itu segera kuurungkan. Mengingat mendapatkan BB dari kuis itu susah sekali.
            “Halo?” jawabku dengan nada jutek.
           “Halo, Calista? Kamu pasti kesel ya nunggu aku? maafin aku ya sayang.. Aku-“ belum sempat ia memberi alasannya. Aku segera memotong kalimatnya.
            “Kamu dimana?” kataku dengan sinis. Kini tanganku yang satu mulai mengepal lagi.
            “Aku masih di Yogya, aku lagi sama Larasati. Maaf, Yang, ini ada masalah sam-”
            “Kamu tau, aku nunggu kamu dari panas matahari nyengat kulit aku, dan kamu gak ngasih tau masalah kamu itu. Dan, Oh, lagi sama Larasati? Aku kecewa banget sama kamu, Tom. “ ucapku dengan nada ketus dan dingin.
            “Cal, aku ket-.”
            Kuputuskan hubungan telpon itu. Penglihatanku pun mulai memburam. Aku kecewa dan amat kesal. Lalu, air ini pun keluar dari pelupuk mata dengan deras. Hatiku, aku sudah tak tau rasa apa ini. Yang pasti, aku kecewa dan aku, membencinya.
͚
Keesokan harinya. Aku menyingkap tirai dengan lesu. Sinar matahari pun mulai berebut masuk melalui jendela. Kulihat Ibuku yang lari dari kejauhan dan kini ia langsung masuk ke kamarku.
Pagi ini, aku dikagetkan oleh berita yang mengguncang hatiku. Ibu bilang, Tomi sudah pulang ke Medan. Tapi, ia..
            “Tomiiiii,” jeritku setelah aku berlari dari rumah, yang tanpa kusadari aku berlari dengan bertelanjang kaki.
            Tangis ini benar-benar tumpah, saat aku tau kini ia hanya sebuah jasad. Aku  mengguncangkan badannya. “Bukaaa, buka mata kamu, Tomi! Kamu belom boleh pergi,” kataku.
            Ibu dari Tomi pun menenangkan aku dan membawaku agak mundur dari Tomi. Ia bilang padaku, bahwa Tomi kecelakaan sewaktu malam. Sewaktu ia pulang bersama Om Hasan –pamannya- motor yang dikendarai oleh mereka oleng dan menabrak truk yang ada didepan mereka. Beruntung Om Hasan tidak terlindas, namun, Tomilah yang-. Ah, aku tak bisa melanjutkan apa yang kudengar dari Ibu Tomi.  Pilu rasanya, kenapa ia bertemu denganku tanpa bisa berkata? Tanpa bisa mengucap kata rindu lagi?

Tiba-tiba, datang seorang gadis. Dia berkerudung merah dan diwajahnya terdapat tahi lalat dekat dagu. Gadis itu menghampiriku lalu mengajakku ke belakang, ke arah dapur. Lalu aku berjalan mengekor dibelakangnya.
            Setelah kami duduk, dia mengulurkan tangannya sembari tersenyum, “Aku Larasati, apa kamu yang namanya Calista?”
            Aku menjawabnya dengan mengangguk. Dari awal ia mengajakku aku sudah tau, dan  merasa bahwa ia perempuan berlogat jawa itu. Kulirik sebentar perempuan bernama Larasati ini. Rupanya dia, dia yang selama ini dekat dengan Tomi di Yogya. Kurasa, ia mengerti tatapanku karena ia langsung berbicara to the point.
            “Aku memang dekat dan..” kalimatnya menggantung, ini membuatku penasaran, lalu kutatap ia balik. Perempuan bernama Larasati itu pun menunduk, “..dan aku suka sama Tomi.”
Spontan, isi hati inipun langsung bergemuruh. Aku menelan ludah. Kini aku mencoba bicara, “Lalu?”
“Tapi, dia. Dia sangat menyayangi Calista nya. Menyayangi kamu.” Ucapnya datar.
Menyayangi aku?
“Tomi. Dia, selalu nyeritain kamu, hal-hal yang sering kamu sama dia lakuin waktu di SMA sini. Dia, selalu bilang ‘Aku kangen banget sama Calista, aku harap aku bisa cepet-cepet ketemu dia. Kamu tau, pipi cubinya bikin kangen’…”
Aku mencoba menahan air mataku untuk tidak tumpah lagi. Rasanya, dadaku mulai sesak.
“Aku selalu iri sama orang yang disebutin Tomi. Ternyata, walaupun kalian LDR, kalian bisa bertahan selama setahun lebih. Hebat.” Ucapnya sembari tersenyum simpul.
Aku masih diam, dan air mata inipun akhirnya mengalir lagi.
“Oh iya, waktu kamu ditelpon Tomi sore-sore itu, aku sebenernya ada disitu nganter Tomi ke Bandara. Maaf ngebuat kamu cemburu dan marah sama Tomi. Tapi, beneran ko dia waktu itu mau pulang, cuma ya, hal-hal kecil bisa aja kan terjadi tanpa semau kita?”
“Maaf,” kataku dengan nada bergetar.
“Kemarin itu, dia lupa ngasih tau jadwal penerbangannya ditunda, bahkan sampe 2 kali.” Larasati merangkulku, “Akhirnya pas malem, dia baru bisa berangkat.”
Aku menutup mukaku dengan telapak tangan. Malu pada sifatku yang kekanak-kanakan. Harusnya aku bisa mencoba untuk mendengar penjelasannya dan ah, apa bisa waktu kupinjam untuk kuulang lagi?
͚
Setelah pemakaman Tomi selesai. Akupun berjalan kembali menuju Danau. Aku duduk lalu menatap lagi permukaannya yang tenang. Ku ambil Gemini dari saku rok hitam panjang ini. Lalu, kubuka inbox, dan membaca kembali sms terakhir –yang baru aku ketahui- dari Tomi.

04.54 pm.
Calista, sayang. Maaf, aku agak telat. Soalnya pesawatnya ditunda mulu daritadi. Oh iya, aku paling nyampe besok. Gpp, kan?

01.32 am.
Yaang, aku udah ada di Polonia nih, bentar lagi dijemput Om Hasan. Kamu pasti udah tidur, ya? Haha pasti. Yaudah, sampe ketemu besok Calistaku.
  
Tanpa terasa, buliran air mulai mengalir dari pelupuk mata. 
Kini, kamu telah semu..
Bukan hanya jarak yang memisahkan kita,
Dunia pun berhasil memisahkan raga kita.
Kini, kamu benar-benar semu
Lebih dari itu.. Aku,
Takkan bisa membuatmu nyata lagi.
Aku memejamkan mataku. Tanganku mengepal lalu kuhantamkan pada kursi. Sakit ini tak sebanding dengan sakit ditinggal pergi oleh Tomi. Tomi yang sebenarnya selalu menyebutku di tempatnya berpijak. Tomi yang sebenarnya selalu menyanjung cinta nya, tepatnya, cinta kita.
Angin senja bertiup pelan melewatiku. Entah mengapa, hembusan angin tadi seperti memeluk ku. Lembut dan membuat hatiku tenang. Kurasa, hembusan angin itu, Tomi.
          

1 komentar:

SNiF's mengatakan...

bagus de :)
kata2 nya keren.