(karya asli: Syifa Syafira Alghifari)
"Biarkan otak ini berfantasi. Mengingatmu, dan mengingat tentang kita yang sama-sama belum mengerti cinta" Aku menghela napas panjang. Angkutan Kota ini belum juga beranjak dari tempatku menghentikannya. Kulirik jam tangan merahku. 02.05 pm. Sudah sejam dan angkutan ini belum juga berangkat. Sebenarnya apa yang abang angkot ini inginkan? Angkot ini sudah setengah terisi oleh ibu-ibu dan tentunya pelajar seperti aku. Dan kurasa, di jalan nanti masih ada penumpang yang akan naik.
"Biarkan otak ini berfantasi. Mengingatmu, dan mengingat tentang kita yang sama-sama belum mengerti cinta" Aku menghela napas panjang. Angkutan Kota ini belum juga beranjak dari tempatku menghentikannya. Kulirik jam tangan merahku. 02.05 pm. Sudah sejam dan angkutan ini belum juga berangkat. Sebenarnya apa yang abang angkot ini inginkan? Angkot ini sudah setengah terisi oleh ibu-ibu dan tentunya pelajar seperti aku. Dan kurasa, di jalan nanti masih ada penumpang yang akan naik.
Keringat semakin mengucur diarea
punggungku. Aku yang berada di pojok semakin merasa panas apalagi kini
disebelahku duduk seorang Ibu yang berbadan besar. Dan, ini tentu menghambat jalur
ventilasi di dalam angkot tersebut. Tiba-tiba si Abang angkot itupun menyalakan
mesinnya dan seketika pula ada yang menelusup masuk ke dalam dan dia langsung
duduk di pojok. Di depanku.
Dia hanya sekali bertatap muka dan seterusnya pandangannya
langsung melihat keluar, disamping kanannya. Jantungku berdesir. “Bekas luka
bakar dileher itu.. dia, memang Evan.” Gumamku dalam hati.
Angkot pun mulai melaju. Sesekali aku melirikan bola
mataku, mencoba mencuri pandang kearahnya. Apa dia ingat aku? Orang yang selalu
bermain bersamanya selama kurang lebih 7 tahun? Ah, dia belum juga sadar. Apa
harus aku yang menyapanya duluan? Tapi, rasa gengsiku ini melebihi kadar
keingintahuanku.
…
'Evaaan,
kamu jadi berangkat ke Gunung Bromo nya?' kataku dengan suara amat nyaring.
'Iya,
kamu beneran gamau ikut, nih? Kan sama ayah aku. Harusnya boleh dong?' tanyanya
sembari menatap lurus kedalam mataku.
'Iya
sih. Tapi, aku diajak Mamah buat ke rumah Nenek, Van.' Ucapku agak datar.
'Yah,
umm, yaudah deh biar kamu ga nyesel. Kamu mau aku bawain apa?'
'Apa
ya?' gumamku, 'Edelweiss?'
'Oke.'
Katanya mantap.
Aku
hanya tersenyum simpul. Ah, bunga itu kan langka. Apa benar dia akan membawakan
aku bunga langka itu? Sedangkang Evan kan paling tidak suka mengambil benda
langka. Kuharap, sedikit saja, ia dapat membawakannya untukku.
Apa
dia benar-benar tidak mengenaliku? Ah, dia jahat. Apa yang berubah dariku?
Kulihat galaxy ku, ku sentuh-sentuh sekenanya. Dan tersadarlah kala ku tak
sengaja membuka galeri foto. Kini gigi mungil ku sudah terpasang kawat. Tapi,
apa mungkin karena kawat ini, Evan tidak bisa mengenaliku?
Semakin
lama, tanpa perintah dariku. Otakku mulai berfantasi kembali menuju saat-saat
aku dekat dengan Evan. Hal yang sebenarnya menyebalkan saat ini.
…
Aku
masih memutar balikan rubik ditangan. 1 warna pun belum bisa kubuat. Biasanya,
sore-sore begini Evan datang ke rumahku dan mengerjakan berbagai hal. Tapi, hal
yang sering kami lakukan adalah bermain rubik dan tentu gardening.
Kami,
memang sama-sama mencintai alam dan yah, bermain rubik itu sebenarnya hobi Evan
dan seperti biasa, dia selalu bisa membuatku mencoba hal-hal yang ia sukai.
Entah kenapa, namun, rasanya sangat menyenangkan jika aku bisa melakukan hal
yang sama dengannya.
Sekarang
Evan mungkin masih di jalan. Aku tak tau mengapa otakku terus memikirkan
tentang Evan. Apa aku rindu? Ah, apa
yang diketahui anak usia 11 tahun tentang ‘rindu’? Aku mulai merasa jengkel
dengan rubik ini. Lantas, aku pun melemparkannya
kearah pintu dan,
‘Aaw,
aduh,’ teriak Evan yang baru saja terkena lemparanku.
Aku
segera beranjak dari kasur. Lalu, tanpa kusadari aku langsung memeluk tubuh
Evan yang masih diselimuti jaket.
‘Maaf,’
lirihku didekat telinganya.
‘Iya,
gapapa,’ ia terkekeh. Suara tawa saat ia menghina ku. Akupun tersadar, aku
langsung menarik tubuh mungilku darinya.
‘Kenapa
dilepas?’ tanyanya sembari tersenyum nakal. Menyebalkan.
Aku
hanya memanyunkan bibir serta membalikkan badan.
‘Oh
iya, nih Edelweiss yang kamu pengen.’ Ucapnya sembari menyodorkan seikat bunga
itu. Mataku membulat saat melihat bunga itu benar-benar ada di hadapanku.
‘Ini.. Edelweiss?’ kataku datar dan masih tak percaya.
‘Iyalah,
kamu yang minta ko gatau bentuk sih,’ katanya dengan nada mencela.
‘Buat
aku?’ tanyaku yang masih tak percaya juga.
Dia
mengangguk sembari tersenyum. Tak terasa, otot pipiku pun ikut tertarik saat
melihat Evan tersenyum. Aku melihatnya dengan seksama. Lehernya. Di sebelah
kiri ada perban yang menempel dilehernya. Aku mendekatinya.
‘Van,
leher kamu kenapa?’ tanyaku sambil mencoba merabanya.
‘Eh,
jaangan! Ini masih basah. Luka kena air panas, Na.’ Jawabnya.
‘Ko
bisa, sih?’ tanyaku lagi yang tak puas dengan jawabannya.
‘Ah,
bawel kamu, Na. Siniin ah bunganya.’ Ucapnya sambil mencoba merebut Edelweiss
itu dariku. Aku melotot. Evan pun tersenyum nakal. Kini ia mulai menggelitiki
perutku. Seisi ruangan pun penuh dengan suara tawa kami.
…
Kulihat
jalanan dan rumah-rumah diluar jendela. Untungnya, si Ibu yang berada
disampingku sudah keluar. Agak bebas juga. Tapi, kini sebentar lagi aku akan
turun. Kulirik lagi dia, tapi tampaknya dia biasa saja. Apa memang harus aku
yang-?
“Baang,
stop!” teriakku lantang.
Angkot
pun berhenti. Aku bangkit lalu kucoba mencuri pandang lagi kearahnya. Ah,
tatapan kami kini beradu. Tapi, kini ia langsung membuang mukanya ke jalanan
lagi. Aku langsung memalingkan mukaku dan segera keluar dari ruang yang semakin
lama, semakin membuat hatiku risau dan kesal.
…
Senja
ini, Evan membawaku ke sebuah pohon yang bertepian danau. Evan dan aku saling
menggenggam tangan. Tak terasa, kini aku pun menangis.
‘Van,
jangan pergi dong. Entar yang ngajarin rubik lagi siapa?’ kataku sembari
terisak.
‘Ya
aku juga maunya ga pergi, Na. Tapi, disini aku mau tinggal sama siapa?’
Aku
menatap mata birunya. Dia memang terlihat enggan untuk meninggalkanku. Dasar
anak bule. Aku tau pasti, Mamahnya itu akan mengajaknya untuk sekolah dan
tinggal disana. Indonesia-Jerman. Angin berhembus pelan melewati kami.
‘Tapi,
kalau nanti kamu pulang, kita harus ketemu dan kalo ketemu dimanapun, kamu
harus nanya aku!’ perintahku.
‘Siap!’
sahutnya mantap. ‘Eh, Na. Aku sayang banget sama kamu,’
Aku
mengangguk sembari tersenyum, ‘Aku tau, ko.’
…
Evan.
Kurasa dia telah melupakan aku.
Kulangkahkan kakiku
panjang-panjang. Akhirnya akupun sampai dikamar. Segera kuambil benda dari
gelas kaca di atas meja belajar. Bunga Edelweiss ini. Sudah lama kusimpan, dan selalu
terulang kenangan-kenangan tentang Evan disini.
Kata
orang, Bunga Edelweiss melambangkan keabadian. Kuharap begitu, kuharap jangan
rasaku saja yang abadi untuknya. Kuharap, diapun sama.
Tiba-tiba
galaxy ku bergetar. Kulirik lalu kusentuh layarnya. Sebuah pesan dari number
tak dikenal rupanya. Kemudian, aku membacanya dan kini betapa kelunya lidahku.
Hatikupun tak kalah bergemuruh dan jantungpun berdetak dengan kencang. Rasanya
jantungku akan berhenti karena terlalu cepat berdetak.
Sender: +6282124678990
Hai, apa ini masih nomber Dina?Umm,
aku Evan. Maaf, aku pulang gabilang. Aku belum selesai nyelesain ini itu
sekolah baru aku disini. Oh iya, tadi, sebenernya aku pengen banget ngobrol
sama kamu tau.. :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar