Jumat, 24 Agustus 2012

Sahabat kecilku, Evan

       (karya asli: Syifa Syafira Alghifari)
  
"Biarkan otak ini berfantasi. Mengingatmu, dan mengingat tentang kita yang sama-sama belum mengerti cinta"                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Aku menghela napas panjang. Angkutan Kota ini belum juga beranjak dari tempatku menghentikannya. Kulirik jam tangan merahku. 02.05 pm. Sudah sejam dan angkutan ini belum juga berangkat. Sebenarnya apa yang abang angkot ini inginkan? Angkot ini sudah setengah terisi oleh ibu-ibu dan tentunya pelajar seperti aku. Dan kurasa, di jalan nanti masih ada penumpang yang akan naik.
            
           Keringat semakin mengucur diarea punggungku. Aku yang berada di pojok semakin merasa panas apalagi kini disebelahku duduk seorang Ibu yang berbadan besar. Dan, ini tentu menghambat jalur ventilasi di dalam angkot tersebut. Tiba-tiba si Abang angkot itupun menyalakan mesinnya dan seketika pula ada yang menelusup masuk ke dalam dan dia langsung duduk di pojok. Di depanku.

“Anak ini..” lirihku.
Dia hanya sekali bertatap muka dan seterusnya pandangannya langsung melihat keluar, disamping kanannya. Jantungku berdesir. “Bekas luka bakar dileher itu.. dia, memang Evan.” Gumamku dalam hati.

Angkot pun mulai melaju. Sesekali aku melirikan bola mataku, mencoba mencuri pandang kearahnya. Apa dia ingat aku? Orang yang selalu bermain bersamanya selama kurang lebih 7 tahun? Ah, dia belum juga sadar. Apa harus aku yang menyapanya duluan? Tapi, rasa gengsiku ini melebihi kadar keingintahuanku.
'Evaaan, kamu jadi berangkat ke Gunung Bromo nya?' kataku dengan suara amat nyaring.
'Iya, kamu beneran gamau ikut, nih? Kan sama ayah aku. Harusnya boleh dong?' tanyanya sembari menatap lurus kedalam mataku.
'Iya sih. Tapi, aku diajak Mamah buat ke rumah Nenek, Van.' Ucapku agak datar.
'Yah, umm, yaudah deh biar kamu ga nyesel. Kamu mau aku bawain apa?'
'Apa ya?' gumamku, 'Edelweiss?'
'Oke.' Katanya mantap.

Aku hanya tersenyum simpul. Ah, bunga itu kan langka. Apa benar dia akan membawakan aku bunga langka itu? Sedangkang Evan kan paling tidak suka mengambil benda langka. Kuharap, sedikit saja, ia dapat membawakannya untukku.






 Apa dia benar-benar tidak mengenaliku? Ah, dia jahat. Apa yang berubah dariku? Kulihat galaxy ku, ku sentuh-sentuh sekenanya. Dan tersadarlah kala ku tak sengaja membuka galeri foto. Kini gigi mungil ku sudah terpasang kawat. Tapi, apa mungkin karena kawat ini, Evan tidak bisa mengenaliku?


Semakin lama, tanpa perintah dariku. Otakku mulai berfantasi kembali menuju saat-saat aku dekat dengan Evan. Hal yang sebenarnya menyebalkan saat ini.
Aku masih memutar balikan rubik ditangan. 1 warna pun belum bisa kubuat. Biasanya, sore-sore begini Evan datang ke rumahku dan mengerjakan berbagai hal. Tapi, hal yang sering kami lakukan adalah bermain rubik dan tentu gardening.

Kami, memang sama-sama mencintai alam dan yah, bermain rubik itu sebenarnya hobi Evan dan seperti biasa, dia selalu bisa membuatku mencoba hal-hal yang ia sukai. Entah kenapa, namun, rasanya sangat menyenangkan jika aku bisa melakukan hal yang sama dengannya.

Sekarang Evan mungkin masih di jalan. Aku tak tau mengapa otakku terus memikirkan tentang Evan. Apa  aku rindu? Ah, apa yang diketahui anak usia 11 tahun tentang ‘rindu’? Aku mulai merasa jengkel dengan rubik ini. Lantas, aku pun  melemparkannya kearah pintu dan,

‘Aaw, aduh,’ teriak Evan yang baru saja terkena lemparanku.
Aku segera beranjak dari kasur. Lalu, tanpa kusadari aku langsung memeluk tubuh Evan yang masih diselimuti jaket.
‘Maaf,’ lirihku didekat telinganya.
‘Iya, gapapa,’ ia terkekeh. Suara tawa saat ia menghina ku. Akupun tersadar, aku langsung menarik tubuh mungilku darinya.
‘Kenapa dilepas?’ tanyanya sembari tersenyum nakal. Menyebalkan.
Aku hanya memanyunkan bibir serta membalikkan badan.
‘Oh iya, nih Edelweiss yang kamu pengen.’ Ucapnya sembari menyodorkan seikat bunga itu. Mataku membulat saat melihat bunga itu benar-benar ada di hadapanku. ‘Ini.. Edelweiss?’ kataku datar dan masih tak percaya.
‘Iyalah, kamu yang minta ko gatau bentuk sih,’ katanya dengan nada mencela.
‘Buat aku?’ tanyaku yang masih tak percaya juga.
Dia mengangguk sembari tersenyum. Tak terasa, otot pipiku pun ikut tertarik saat melihat Evan tersenyum. Aku melihatnya dengan seksama. Lehernya. Di sebelah kiri ada perban yang menempel dilehernya. Aku mendekatinya.
‘Van, leher kamu kenapa?’ tanyaku sambil mencoba merabanya.
‘Eh, jaangan! Ini masih basah. Luka kena air panas, Na.’ Jawabnya.
‘Ko bisa, sih?’ tanyaku lagi yang tak puas dengan jawabannya.
‘Ah, bawel kamu, Na. Siniin ah bunganya.’ Ucapnya sambil mencoba merebut Edelweiss itu dariku. Aku melotot. Evan pun tersenyum nakal. Kini ia mulai menggelitiki perutku. Seisi ruangan pun penuh dengan suara tawa kami.
Kulihat jalanan dan rumah-rumah diluar jendela. Untungnya, si Ibu yang berada disampingku sudah keluar. Agak bebas juga. Tapi, kini sebentar lagi aku akan turun. Kulirik lagi dia, tapi tampaknya dia biasa saja. Apa memang harus aku yang-?

“Baang, stop!” teriakku lantang.

Angkot pun berhenti. Aku bangkit lalu kucoba mencuri pandang lagi kearahnya. Ah, tatapan kami kini beradu. Tapi, kini ia langsung membuang mukanya ke jalanan lagi. Aku langsung memalingkan mukaku dan segera keluar dari ruang yang semakin lama, semakin membuat hatiku risau dan kesal.
Senja ini, Evan membawaku ke sebuah pohon yang bertepian danau. Evan dan aku saling menggenggam tangan. Tak terasa, kini aku pun menangis.
‘Van, jangan pergi dong. Entar yang ngajarin rubik lagi siapa?’ kataku sembari terisak.
‘Ya aku juga maunya ga pergi, Na. Tapi, disini aku mau tinggal sama siapa?’

Aku menatap mata birunya. Dia memang terlihat enggan untuk meninggalkanku. Dasar anak bule. Aku tau pasti, Mamahnya itu akan mengajaknya untuk sekolah dan tinggal disana. Indonesia-Jerman. Angin berhembus pelan melewati kami.

‘Tapi, kalau nanti kamu pulang, kita harus ketemu dan kalo ketemu dimanapun, kamu harus nanya aku!’ perintahku.
‘Siap!’ sahutnya mantap. ‘Eh, Na. Aku sayang banget sama kamu,’
Aku mengangguk sembari tersenyum, ‘Aku tau, ko.’
Evan. Kurasa dia telah melupakan aku.

Kulangkahkan kakiku panjang-panjang. Akhirnya akupun sampai dikamar. Segera kuambil benda dari gelas kaca di atas meja belajar. Bunga Edelweiss ini. Sudah lama kusimpan, dan selalu terulang kenangan-kenangan tentang Evan disini.

Kata orang, Bunga Edelweiss melambangkan keabadian. Kuharap begitu, kuharap jangan rasaku saja yang abadi untuknya. Kuharap, diapun sama.

Tiba-tiba galaxy ku bergetar. Kulirik lalu kusentuh layarnya. Sebuah pesan dari number tak dikenal rupanya. Kemudian, aku membacanya dan kini betapa kelunya lidahku. Hatikupun tak kalah bergemuruh dan jantungpun berdetak dengan kencang. Rasanya jantungku akan berhenti karena terlalu cepat berdetak.

Sender: +6282124678990
Hai, apa ini masih nomber Dina?Umm, aku Evan. Maaf, aku pulang gabilang. Aku belum selesai nyelesain ini itu sekolah baru aku disini. Oh iya, tadi, sebenernya aku pengen banget ngobrol sama kamu tau.. :p

Tidak ada komentar: